Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Anda Jadi Follower Siapa? Hati-hati, Bisa Gagal Dapat Kerja

28 Agustus 2023   06:56 Diperbarui: 12 September 2023   12:52 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J)

Kebetulan, pada Sabtu (26/8/2023) kemarin saya berbincang-bincang dengan beberapa teman lama dalam sebuah acara resepsi pernikahan di Jakarta Selatan.

Sebagian teman saya itu sekarang punya posisi manajerial di perusahaan tempatnya bekerja. Ada yang di anak perusahaan BUMN, ada juga yang di perusahaan swasta.

Entah kenapa, sampailah cerita pada nasib seorang teman, sebut saja namanya Basri, yang gagal untuk mengisi jabatan strategis di suatu perusahaan.

Basri sendiri tidak ikut dalam acara resepsi pernikahan di atas. Sehingga cerita yang saya dengar adalah versi teman-teman yang terlibat berbincang dengan saya.

Konon, Basri termasuk yang diunggulkan untuk mengisi jabatan strategis itu berdasarkan kinerjanya yang bagus selama ini.

Tapi, setelah tim yang menyeleksi melihat aktivitas Basri di berbagai akun media sosial, nama Basri pun terpental alias dicoret sebagai kandidat potensial. 

Tak ada yang aneh sebetulnya terkait apa yang diposting Basri di media sosial. Tak ada yang bermuatan pornografi, tak ada pamer kekayaan, tak ada pula komentarnya yang bernada provokatif.

Hanya saja, Basri diketahui menjadi follower dari sorang tokoh kondang (nama si tokoh tak usah disebutkan di sini) yang oleh media massa disebut bergaya keras dalam mengkritisi pemerintah.

Memang, cerita di atas belum tentu benar, karena ini kan versi seorang teman yang sulit untuk diklarifikasi.

Tapi, bagi mereka yang lagi berburu pekerjaan, termasuk yang sudah bekerja namun masih menginginkan pindah ke tempat lain dengan posisi lebih tinggi, tak ada salahnya berjaga-jaga.

Maksudnya, ada baiknya aktivitas seseorang di media sosial, termasuk juga soal siapa saja yang diikutinya atau grup mana saja yang dimasukinya, dilakukan dengan beberapa pertimbangan.

Pertama, jika menyukai sosok yang di media massa digambarkan sebagai penentang utama pemerintah, mungkin kesukaan itu tak perlu dengan menjadi pengikutnya di media sosial.

Kriteria penentang pemerintah memang bisa diperdebatkan. Antara melakukan kritik secara tajam dengan melontarkan fitnah atau ujaran kebencian, masing-masing orang bisa berbeda pendapat.

Demikian pula bila menyukai seorang ustaz, jika mau menjadi follower, coba lacak dulu di media massa, apakah selama ini termasuk ustaz yang netral atau dekat dengan parpol tertentu.

Jangan mengira jika bekerja di perusahaan swasta, pihak manajemennya tak akan mempermasalahkan soal aktivitas para karyawannya di media sosial.

Kalau di instansi pemerintah, sudah terbukti ada pejabat yang kehilangan jabatan karena postingannya, termasuk juga postingan keluarganya di media sosial, yang terkesan pamer kemewahan.

Tapi, bisa jadi di perusahaan swasta bukan soal pamer kemewahan yang disorotnya. Pihak manajemen diperkirakan lebih melihat lingkup pergaulan dan karakter karyawannya.

Jadi, dalam menilai pergaulan karyawan di media sosial, rasanya belum ada standar baku, sehingga bisa saja berbau like and dislike terhadap teman-teman media sosial karyawannya.

Perusahaan swasta yang biasa menangani proyek dari pemerintah, mungkin agak sensitif bila "disusupi" karyawan yang lingkup pergaulannya masuk grup yang vokal terhadap pemerintah.

Kedua, dalam memposting sesuatu, agar sangat berhati-hati dengan mempertimbangkan apa dampaknya terhadap karier Anda atau terhadap pekerjaan yang lagi dilamar.

Siapa saja teman Anda di media sosial, apa saja postingan Anda berupa foto, video, dan tulisan, akan diteliti oleh tim yang menyeleksi para pelamar kerja.

Contoh lebih ekstrim (mudah-mudahan tidak pernah terjadi), misalnya pihak manajemen sangat fanatik mendukung capres A, maka karyawan pendukung capres "musuh" bisa kena getahnya.

Ketiga, agar selalu berhati-hati dalam merespon postingan orang lain. Bahkan, sekadar memberi simbol like saja, pikir dulu baik-baik.

Apalagi, merespon dalam bentuk narasi, tentu kalimat yang dipilih perlu disusun dengan cermat. Jangan sampai terkesan provokatif, umpama ketika ada kelompok pro dan kontra sesuatu.

Kesimpulannya, sebaiknya sikap bijak dan netral lebih dikedepankan dalam bermedia sosial, agar tidak berpengaruh negatif pada karier.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun