Maksudnya, ada baiknya aktivitas seseorang di media sosial, termasuk juga soal siapa saja yang diikutinya atau grup mana saja yang dimasukinya, dilakukan dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, jika menyukai sosok yang di media massa digambarkan sebagai penentang utama pemerintah, mungkin kesukaan itu tak perlu dengan menjadi pengikutnya di media sosial.
Kriteria penentang pemerintah memang bisa diperdebatkan. Antara melakukan kritik secara tajam dengan melontarkan fitnah atau ujaran kebencian, masing-masing orang bisa berbeda pendapat.
Demikian pula bila menyukai seorang ustaz, jika mau menjadi follower, coba lacak dulu di media massa, apakah selama ini termasuk ustaz yang netral atau dekat dengan parpol tertentu.
Jangan mengira jika bekerja di perusahaan swasta, pihak manajemennya tak akan mempermasalahkan soal aktivitas para karyawannya di media sosial.
Kalau di instansi pemerintah, sudah terbukti ada pejabat yang kehilangan jabatan karena postingannya, termasuk juga postingan keluarganya di media sosial, yang terkesan pamer kemewahan.
Tapi, bisa jadi di perusahaan swasta bukan soal pamer kemewahan yang disorotnya. Pihak manajemen diperkirakan lebih melihat lingkup pergaulan dan karakter karyawannya.
Jadi, dalam menilai pergaulan karyawan di media sosial, rasanya belum ada standar baku, sehingga bisa saja berbau like and dislike terhadap teman-teman media sosial karyawannya.
Perusahaan swasta yang biasa menangani proyek dari pemerintah, mungkin agak sensitif bila "disusupi" karyawan yang lingkup pergaulannya masuk grup yang vokal terhadap pemerintah.
Kedua, dalam memposting sesuatu, agar sangat berhati-hati dengan mempertimbangkan apa dampaknya terhadap karier Anda atau terhadap pekerjaan yang lagi dilamar.
Siapa saja teman Anda di media sosial, apa saja postingan Anda berupa foto, video, dan tulisan, akan diteliti oleh tim yang menyeleksi para pelamar kerja.