Saya tinggal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di sini, rumah-rumah warga kebanyakan sudah mengalami renovasi secara total, sehingga tidak meninggalkan jejak bangunan asli.
Bahkan, ada bangunan yang sudah direnovasi dua hingga tiga kali. Rata-rata, ketika rumah dijual, pembeli baru cenderung merobohkan rumah lama dan membangun yang baru.
Sejarah pemukiman di Tebet berkaitan erat dengan  pembangunan Gelora Bung Karno (GBK) di Senayan, Jakarta Pusat, sekitar tahun 1960-1961.
GBK disiapkan untuk penyelenggaraan Asian Games 1962. Penduduk yang tinggal di Senayan direlokasi ke Tebet yang saat itu masih berupa lahan kebun dan empang.
Ada 2 tipe kapling yang didapat oleh warga yang direlokasi, yakni tipe seluas sekitar 100 meter, dan yang seluas sekitar 200 meter.
Nah, dari pengamatan sekilas, saya melihat rumah lama yang berdiri di atas lahan seluas 200 meter, jadi sasaran para pemodal untuk dibangun baru.
Banyak pemilik rumah yang sudah layak direnovasi itu tertarik dengan tawaran pemodal, karena mereka akan punya rumah baru hasil renovasi tanpa mengeluarkan uang tunai.
Si pemilik rumah juga tidak perlu berutang ke bank atau ke lembaga keuangan lainnya. Artinya, mereka cukup duduk manis saja.
Jangan keliru. Ini bukan pula kisah seseorang yang menang undian atau dapat hibah dari pihak lain.
Juga bukan semacam program bedah rumah bagi warga kelas menengah ke bawah, acara sosial dari sponsor tertentu yang dulu disiarkan oleh salah satu stasiun televisi.
Ini murni bisnis biasa yang saling menguntungkan, antara pemilik rumah dengan investor yang tertarik untuk membangun rumah.
Pertama, pihak investor akan menanggung biaya kontrak rumah bagi pemilik yang terpaksa pindah sementara, selama renovasi atau pembangunan rumah berlangsung.
Kedua, rumah model lama akan dirobohkan. Biasanya, perobohan rumah lama itu dilakukan oleh pihak yang dipercaya oleh pihak investor.
Ketiga, membagi dua lahan yang sudah dikosongkan itu untuk membangun dua buah rumah kembar. Masing-masing rumah bertingkat dua.
Keempat, setelah pembangunan selesai, pemilik lama akan dapat satu unit rumah baru. Investor juga dapat satu rumah baru yang nanti akan dijualnya.
Jelaslah, ini sebenarnya bisnis biasa. Hanya saja, investor bertindak seolah-olah sebagai penyelamat, sehingga tanpa uang pun pemilik rumah bisa mendapat rumah baru.
Tapi, apakah betul-betul tanpa uang sama sekali? Inilah yang harus dicermati dengan baik bagi pemilik rumah yang menjadi sasaran para investor.
Bukankah pola demikian memperlihatkan bahwa pemilik rumah pada hakikatnya sudah menjual separuh lahan rumahnya yang lama?
Dengan uang hasil penjualan separuh lahan itulah si pemilik rumah membiayai pembangunan rumah barunya, di atas lahan yang tinggal separuh.
Jadi, tidak benar kalau ada orang yang membangun rumah tanpa uang sendiri, tanpa utang, juga bukan berupa hadiah atau hibah.
Nah, tinggal dibandingkan saja, berapa harga pasar tanah di lokasi rumah yang akan dibangun itu? Hitunglah nilai penjualan separuh dari luas tanah yang ada.
Misalnya, harga separuh tanah tersebut Rp 500 juta. Kemudian, coba taksir berapa biaya membangun rumah baru di atas separuh lahan yang tersisa.
Kalau biaya membangun rumah yang diperoleh pemilik lama di atas Rp  500 juta, maka tawaran investor di atas layak untuk diterima.
Namun, jika taksiran biaya membangun rumah tersebut di bawah Rp 500 Â juta, tawaran investor jelas merugikan pemilik rumah dan sebaiknya tawaran itu ditolak.
Adapun bagi investor, hitung-hitungan nya juga kurang lebih sama. Kalau ongkos membangun 2 rumah kembar adalah Rp 1 miliar, berapa rupiah ia bisa menjual rumah yang satu unit.
Satu unit lagi akan diserahkan kepada pemilik lama. Maka, satu unit yang jadi hak investor harus bisa dijual di atas Rp  1 miliar, agar dapat untung.
Jadi, kerjasama kedua pihak, baik investor maupun pemilik rumah lama, perlu pertimbangan yang matang agar sama-sama meraih keuntungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H