Selain itu, juga ada banyak sekali bank milik daerah, karena setiap provinsi (kecuali beberapa provinsi baru hasil pemekaran) punya sebuah Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Jelaslah, dengan dominannya peran bank milik negara dan daerah, tentu jumlah pelaku UMKM yang menerima kredit juga sangat banyak. Dengan demikian, berita tentang dibolehkannya kredit macet UMKM dihapus, seyogyanya akan disambut gembira pelaku UMKM.
Tapi, jangan gembira berlebihan. Soalnya, pelaku UMKM yang kreditnya macet akan tetap muncul dalam SLIK, meskipun telah dihapus dari daftar kredit bank.
SLIK adalah Sistem Layanan Informasi Keuangan yang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagai pengganti BI Checking ketika masih dikelola Bank Indonesia (BI).
Semua bank wajib melaporkan dalam SLIK status peminjamnya, nasabah mana saja yang lancar dan mana yang menunggak.
Jika seorang nasabah sudah masuk daftar hitam sebagai nasabah macet di suatu bank, tidak bisa diproses lagi pengajuan kredit barunya di bank manapun.
Jadi, nasabah yang kreditnya macet, bila ingin mendapat kucuran kredit baru, harus melunasi kredit yang lama terlebih dahulu.
Hal itu karena ada prinsip prudential banking yang wajib diterapkan bank, di mana setiap akan memproses pengajuan kredit, harus melihat dulu status pemohon melalui SLIK.
Harapannya, penghapusan kredit macet UMKM bisa diikuti dengan pemutihan daftar nasabah UMKM yang macet kreditnya dalam SLIK.
Tentu, pemutihan seorang nasabah dalam SLIK perlu dilakukan secara selektif, hanya untuk nasabah yang bisnisnya potensial dan punya karakter yang baik.
Memang, penyebab kredit macet secara umum bisa karena usaha nasabah tidak potensial, atau karena nasabah tak punya niat baik untuk melunasi.