Partai Golongan Karya (Golkar) adalah partai politik tertua di antara semua partai yang sekarang berkiprah dalam kancah perpolitikan nasional.
Golkar berdiri pada tanggal 20 Oktober 1964 dan meraih masa kejayaanya selama era Orde Baru, yakni saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto (1968-1998).
Ketika Orde Baru tumbang dan digantikan dengan era reformasi, banyak pengamat yang menduga Golkar akan habis, bahkan tak sedikit suara yang meminta Golkar dibubarkan saja.
Tapi, dengan pengalaman tokoh-tokohnya yang matang dalam berpolitik, Golkar bisa selamat dan bisa juga mengikuti irama dengan bergaya reformis.
Bahkan, boleh dikatakan bahwa Golkar selalu berada dalam kekuasaan, karena dengan lincah membangun koalisi dengan partai pemenang di setiap pemilu era reformasi.
Maka, ketika Partai Demokrat berkuasa dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden, Golkar ikut dalam gerbong pemerintah dengan mendapat jatah beberapa kursi menteri.
Demikian pula ketika giliran PDIP yang menang dan menjadikan Joko Widodo sebagai Presiden, Golkar pun tetap menjadi bagian dari kekuasaan.
Jelaslah, Golkar belum pernah menjadi partai oposisi, seperti yang dilakukan Partai Demokrat dan PKS saat ini atau seperti PDIP di masa Presiden SBY.
Memang, kalau disebut era keemasan Golkar sudah terlewati, sah-sah saja, karena setelah era Soeharto, belum pernah ada lagi kader Golkar yang menjadi Presiden.
Hanya saja, jangan sebut Golkar sudah mati atau sudah habis. Peran Golkar tetap penting dan banyak partai lain yang sangat ingin menggandeng Golkar dalam bekoalisi.
Tapi, harus diakui, Golkar bukan lagi penentu arah politik di negara kita. Artinya, Golkar bukan aktor utama, namun menjadi aktor pendukung yang diperebutkan.Â
Ironisnya, sekarang terbentuk 3 poros yang jadi penentu, dan salah satunya adalah poros yang dikomandoi oleh Partai Gerindra.
Padahal, Gerindra bisa disebut sebagai "anak" yang dilahirkan Golkar, seperti juga Nasdem dan Hanura yang juga "anak" Golkar.
Hal itu karena beberapa tokoh Golkar merasa kecewa dan membentuk partai baru, sehingga lahirlah partai-partai "anak" itu tadi.
Maka, Golkar sekarang ibarat induk yang dilangkahi anaknya, karena Gerindra sudah menjadi penentu yang mengusung Prabowo Subianto sebagai capres.
Selain Gerindra, 2 poros lainnya adalah poros yang dibentuk Nasdem dengan capresnya Anies Baswedan dan poros PDIP dengan capres Ganjar Pranowo.
Jusuf Kalla (JK), mantan dua kali wakil presiden dan mantan ketua umum di partai berlambang pohon beringin itu, terang benderang mendukung Anies Baswedan.
Tapi, JK pun realistis dengan mengatakan bagi Golkar sebagai institusi tak mungkin mendukung Anies. Barangkali karena Anies disebut media massa sebagai antitesis Jokowi.
JK memang terkenal dengan kecepatannya dalam mengambil keputusan yang strategis. Berbeda dengan ketua umum Golkar saat ini, Airlangga Hartarto yang terkesan lamban.
Lambatnya Golkar mengambil keputusan mungkin karena menunggu "arahan" Â Jokowi. Padahal, Golkar seharusnya berani mengambil keputusan sendiri.
Makanya, kader Golkar yang tidak sabar dengan gaya kepemimpinan Airlangga, sebagian mencetuskan untuk mengganti Airlangga melalui forum Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).
Untunglah, Airlangga berhasil meredam wacana munaslub tersebut dan ia masih bercokol sebagai pemimpin Golkar.
Masalahnya, elektabilitas Airlangga tak kunjung terangkat berdasarkan hasil sejumlah survei.Â
Hal itu sangat disadari Golkar, sehingga bisa jadi akan mendorong kadernya Ridwan Kamil sebagai bakal cawapres, karena lebih baik elektabilitasnya.
Golkar pilih koalisi hanya ada dua pilihan, mendukung Prabowo atau Ganjar? Dan itu sangat tergantung, apakah Prabowo atau Ganjar yang berminat didampingi Ridwan Kamil.
Jika Golkar tetap ngotot mencawapreskan Airlangga, apalagi mencapreskan, diduga akan gagal.