Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Financial Freedom, Indah Teorinya tapi Sering Pahit Faktanya

27 Juli 2023   05:22 Diperbarui: 27 Juli 2023   16:30 1500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Financial freedom.(Freepik/jcomp via Kompas.com)

Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap teman-teman sesama penulis di Kompasiana, saya sering dihantui pertanyaan setiap membaca artikel yang berkaitan dengan financial freedom.

Financial freedom itu sendiri bisa diartikan secara bebas, sebagai suatu kondisi seseorang atau sebuah keluarga yang punya dana yang memadai untuk menutupi kebutuhannya hingga masa tua.

Nah, di Kompasiana relatif sering muncul tulisan tentang tips untuk meraih financial freedom, yang pada intinya bagaimana mengalokasikan pendapatan ke berbagai pos.

Umpamanya, sekian persen untuk belanja rutin, sekian persen untuk investasi, sekian persen untuk cadangan darurat, dan sebagainya. 

Hal ini tentu membutuhkan kedisiplinan yang sangat ketat, agar yang sekian persen-sekian persen itu tadi bisa terpenuhi.

Ketika hasil investasi sudah berakumulasi demikian besar, sehingga tanpa bekerja pun uang datang sendiri, ketika itulah financial freedom tercapai.

Menjadi pertanyaan saya, apakah si penulis telah berhasil mempraktikkan tips yang ditulisnya atau baru sebatas memahami teorinya. 

Saya tidak berpretensi, saya lebih baik berbaik sangka saja, bahwa si penulis memang sudah melakukan apa yang ditulisnya.

Namun, saya menduga bahwa sebagian pembaca yang masih berada pada kehidupan yang pas-pasan, akan mengatakan tulisan tentang financial freedom itu sebagai omdo (omong doang).

Ilustrasi dok. Mikhail Nilov/Pexels, dimuat hipwee.com
Ilustrasi dok. Mikhail Nilov/Pexels, dimuat hipwee.com

Memang, berdasarkan pengalaman saya sendiri yang saya akui tentu saja bersifat subjektif, financial freedom itu indah dalam teori, tapi pahit dalam faktanya.

Hal itu berlaku hingga saya berusia 40 tahun. Baru setelah itu saya bisa "bernapas", dan kemudian baru merasa memerlukan teori financial freedom.

Untung saja, kompasianer Irmina Gultom menulis tentang 7 tahap dalam mencapai financial freedom, yang secara realistis menjelaskan kesulitan dalam meraihnya (Kompasiana, 24/7/2023).

Tulisan Irmina seakan mengkonfirmasi pengalaman saya, sehingga saya merasa pendapat saya berikut ini tak lagi subjektif, tapi mudah-mudahan objektif.

Menurut saya, bagi sebuah keluarga kecil (suami, istri dan 1 atau 2 anak balita) dengan penghasilan gabungan suami istri yang pas-pasan untuk belanja rutin, tentu sulit untuk berinvestasi.

Kalau pakai standar di Jakarta saat ini, kira-kira penghasilan di bawah Rp 7 juta per bulan, masih sulit memulai langkah demi mewujudkan financial freedom.

Tentu ada pengecualian. Kecuali bila pasangan suami istri itu tinggal di kota kecil, mendiami rumah peninggalan orangtua dengan jarak rumah ke tempat kerja relatif dekat, dan kondisi spesial lainnya.

Teorinya sangat manis, seperti gigih mencari penghasilan tambahan, berhemat dalam pengeluaran. Tapi, percayalah, itu lebih banyak manis di atas kertas saja.

Ketika karier mulai meningkat dan penghasilan gabungan suami istri sudah menyentuh Rp 10 juta per bulan, barulah ada peluang untuk mengalokasikan sebagian dana demi meraih financial freedom.

Berlanjut ketika bergaji sudah belasan juta, tentu makin besar peluang meraih financial freedom. Namun, di tahap inilah yang akan jadi faktor penentu, apakah seseorang berbakat meraih financial freedom atau tidak.

Jika mereka yang mulai agak makmur itu mampu menerapkan gaya hidup sederhana, ada harapan bahwa financial freedom itu sudah di depan mata.

Tapi, jika gaya hidup boros mulai menjangkitinya, sehingga penambahan penghasilan diikuti oleh penambahan pengeluaran, maka financial freedom tetap tinggal impian.

Hebatnya, jika kita hemat, dari akumulasi investasi yang sedikit-sedikit itu, betul-betul lama-lama akan jadi bukit.

Jadi, begitu karier makin berkembang lagi dan gaji sudah di atas Rp 20 juta, bersamaan dengan itu hasil investasi yang bersifat passive income mulai membesar.

Ketika itulah teori yang indah, juga indah dalam fakta. Soalnya, begitu diawali dengan konsisten, katakanlah setiap bulan berinvestasi 10 persen dari gaji, dampak akumulatifnya cukup dahsyat.

Jadi, kembali perlu diingatkan, titik kritisnya ada pada tahap pendapatan sudah mampu melewati kebutuhan pokok dan masih bersisa setelah mencicil pengembalian utang.

Ketika penghasilan masih pada tahap sebesar upah minimum provinsi, financial freedom hanya sekadar terlalu manis untuk dibicarakan.

Pada ilustrasi di atas, yang bersangkutan dengan karier lebih mengacu para orang kantoran atau kelompok pekerja bergaji tetap.

Tapi, bagi mereka yang menjadi pelaku usaha pun, kurang lebih sama. Hanya saja, orang gajian sudah punya penghasilan tetap yang naik seiring kenaikan jabatan.

Sedangkan pelaku usaha, penghasilannya bersifat fluktuatif, sehingga pola investasinya agar meraih financial freedom sedikit berbeda. Penyisihan dana untuk investasi bisa dibuat secara fleksibel.

Kesimpulannya, semua orang pasti ingin meraih financial freedom. Tapi, karena kondisi masing-masing orang beranjak dari garis start yang tidak sama, mungkin banyak tidak sampai finish. 

Memahami teori saja, dalam arti secara literasi keuangan sudah pada tahap memadai, tapi kondisi keuangannya masih pas-pasan, tetap akan sulit menerapkan teori yang dipahaminya tersebut.

Sebagai sebuah teori, financial freedom sudah tepat. Namun demikian, jangan kecewa bila tak semua orang yang bisa mencapainya.

Mudah-mudahan saja perekonomian Indonesia semakin berjaya, sehingga pendapatan per kapita masyarakat akan meningkat signifikan.

Ketika itulah besar harapan kita, agar sebagian besar penduduk Indonesia dapat hidup sejahtera dan berhasil mewujudkan financial freedom.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun