Tapi, jika gaya hidup boros mulai menjangkitinya, sehingga penambahan penghasilan diikuti oleh penambahan pengeluaran, maka financial freedom tetap tinggal impian.
Hebatnya, jika kita hemat, dari akumulasi investasi yang sedikit-sedikit itu, betul-betul lama-lama akan jadi bukit.
Jadi, begitu karier makin berkembang lagi dan gaji sudah di atas Rp 20 juta, bersamaan dengan itu hasil investasi yang bersifat passive income mulai membesar.
Ketika itulah teori yang indah, juga indah dalam fakta. Soalnya, begitu diawali dengan konsisten, katakanlah setiap bulan berinvestasi 10 persen dari gaji, dampak akumulatifnya cukup dahsyat.
Jadi, kembali perlu diingatkan, titik kritisnya ada pada tahap pendapatan sudah mampu melewati kebutuhan pokok dan masih bersisa setelah mencicil pengembalian utang.
Ketika penghasilan masih pada tahap sebesar upah minimum provinsi, financial freedom hanya sekadar terlalu manis untuk dibicarakan.
Pada ilustrasi di atas, yang bersangkutan dengan karier lebih mengacu para orang kantoran atau kelompok pekerja bergaji tetap.
Tapi, bagi mereka yang menjadi pelaku usaha pun, kurang lebih sama. Hanya saja, orang gajian sudah punya penghasilan tetap yang naik seiring kenaikan jabatan.
Sedangkan pelaku usaha, penghasilannya bersifat fluktuatif, sehingga pola investasinya agar meraih financial freedom sedikit berbeda. Penyisihan dana untuk investasi bisa dibuat secara fleksibel.
Kesimpulannya, semua orang pasti ingin meraih financial freedom. Tapi, karena kondisi masing-masing orang beranjak dari garis start yang tidak sama, mungkin banyak tidak sampai finish.Â
Memahami teori saja, dalam arti secara literasi keuangan sudah pada tahap memadai, tapi kondisi keuangannya masih pas-pasan, tetap akan sulit menerapkan teori yang dipahaminya tersebut.