Si tukang sempat mengompori teman saya agar hati-hati dan jangan kalah gertak, jika tetangganya masih marah-marah atau minta ganti rugi.
Untungnya, teman saya bukan orang yang cepat naik darah. Ia segera bertandang ke rumah tetangga dan mengucap salam dengan sopan.
Awalnya, si tetangga langsung mengeluarkan uneg-unegnya soal ulah tukang yang menurutnya bekerja serampangan.Â
Tapi, melihat teman saya menyimak dengan baik, tidak ikut membalas ngomong keras, si tetangga mulai menurunkan volume suaranya.
Nah, ini dia yang ditunggu teman saya, kalau sudah tidak emosi lagi, tentu enak untuk diajak bernegosiasi.
Dengan tutur kata yang lembut, teman saya minta izin melihat lebih dekat dinding tetangga yang terkelupas.
Teman saya langsung memperlihatkan tindakan yang simpatik dengan memohon maaf (padahal saat baru sampai di rumah tetangga, ia juga sudah minta maaf).
Lalu, teman saya mengusulkan apakah si tetangga berkenan agar tukang yang lagi bekerja disuruhnya memperbaiki dinding tetangga agar kembali seperti sebelum terkelupas.
Kali ini, hati keras si tetangga langsung luluh melawan kelemahlembutan teman saya. Usul teman saya disetujui si tetangga.
Maka, pada saat itu juga, teman saya meminta tukangnya mendahulukan pekerjaan memperbaiki dinding tetangga.
Teman saya juga mengawasi pekerjaan si tukang di rumah tetangga hingga selesai, agar tidak menimbulkan hal yang tidak diharapkan.