Nabung bareng pacar bukanlah hal yang aneh sejak beberapa tahun terakhir ini. Ada semacam fenomena baru bagi para mahasiswa yang sudah punya pacar sesama mahasiswa.
Jika pasangan yang masih kuliah itu merasa cocok dan sepakat akan melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, mereka terpacu untuk segera menyusun rancangan masa depannya.
Mereka rajin belajar, karena ingin cepat wisuda. Lalu mereka sama-sama mencari pekerjaan, sama-sama mengumpulkan uang, dan menabung bersama. Â
Jika dana dirasa cukup, meskipun baru untuk sekadar acara resepsi sederhana, mereka pun akan melangsungkan pernikahan.Â
Tak heran, pasangan model begini menikah relatif cepat, di sekitar usia 25-26 tahun, atau 2-3 tahun setelah dapat pekerjaan.
Pertimbangan mereka dalam menabung bersama, agar dengan uang sendiri akan bebas merancang konsep acara pernikahan mereka.
Tentu, yang akan diundang lebih banyak teman-teman dari kedua mempelai, selain pihak keluarga dekat kedua belah pihak.
Sedangkan undangan untuk teman-teman dari orang tua kedua pengantin, tidak sampai mendominasi.
Mereka tak mau gaya mainstream, di mana orang tua yang banyak membiayai, dan acara pun jadi milik orang tua. Undangannya lebih banyak dari relasi orang tua.
Namanya acara orang tua, tentu bergaya konvensional sesuai adat suku orang tua. Itulah yang didobrak pasangan yang ingin mandiri.
Memang, bagi orang tua yang mampu, ajang pernikahan anaknya merupakan arena untuk unjuk gigi, soal gengsi seolah menjadi pertaruhan.Â
Budget untuk sewa gedung, dekorasi pelaminan, katering, hiburan, dokumentasi, cenderamata, dan berbagai hal lainnya, jelas relatif besar.
Pasangan yang menikah, yang sebetulnya menjadi "bintang", hanya sekadar objek saja yang diatur-atur oleh orang tua.
Sedangkan bagi orang tua yang kurang mampu, mereka bahkan berani berutang demi terselenggaranya resepsi yang layak.
Jadi, jika anaknya menabung bareng pacarnya, sebetulnya malah meringankan beban orang tua. Ini hal yang positif.
Bahkan, tak sedikit pasangan yang punya planning lebih jauh, yakni siap dana untuk biaya saat punya anak, membeli rumah kecil dengan cicilan dari gaji, punya kendaraan, dan sebagainya.
Hanya saja, nabung bareng pacar jangan melulu bicara sisi positifnya. Perlu disadari risiko di balik itu, jika hubungan putus sebelum menikah.
Sebaiknya, hanya pasangan yang sudah sangat yakin bahwa mereka betul-betul jodoh yang sesuai, yang memutuskan untuk menabung bareng.
Jika terjadi hal yang sangat diluar dugaan, tentu harus dihadapi. Makanya, sebaiknya tetap ada catatan, masing-masing punya kontribusi berapa dalam tabungan bersama itu.
Dipandang dari sisi kelaziman selama ini, kontribusi dana terbesar sebaiknya dari yang laki-laki. Meskipun ini tidak bersifat mutlak.
Apalagi, di zaman sekarang ini, karier perempuan yang lebih melejit dari laki-laki, bukanlah hal yang langka.
Kejujuran dan keikhlasan kedua belah pihak mutlak sangat diperlukan sebelum menyepakati membuat tabungan bersama. Untuk pengeluaran uang perlu pula persetujuan berdua.
Jadi, tak ada salahnya nabung bareng pacar sebagai refleksi perencanaan keuangan yang baik. Namun, sebaiknya dilakukan untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Maksudnya, lebih cepat menikah lebih baik. Toh, keduanya sudah punya sumber penghasilan. Tidak perlu menunggu tabungan banyak, baru menikah.
Dengan tabungan bersama secara jujur dan ikhlas, akan jadi modal berharga dalam membangun rumah tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H