Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ruang Gerak Dibatasi, Dendam Perokok Bisa "Bunuh" Anak dan Istri

5 Juni 2023   05:14 Diperbarui: 5 Juni 2023   06:51 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi merokok dekat bayi | dok. www.birminghammail.co.uk, dimuat kompas.com

Kakek saya dari pihak ayah (saya memanggilnya "inyiak") adalah seorang perokok berat. 2 laki-laki anak inyiak juga perokok, tapi ada pula 2 lelaki anak inyiak yang tidak perokok.

Dari 2 lelaki yang tidak perokok tersebut, salah satunya adalah ayah saya. Ayah punya 3 orang anak laki-laki yang semuanya tidak perokok.

Saya sendiri punya 2 anak lelaki, salah satunya perokok. Tentu, karena saya tidak merokok, anak saya itu terpengaruh karena pergaulan dengan teman-temannya.

Jadi, seorang anak tetap saja bisa ketagihan merokok, meskipun di rumahnya tak ada orang yang merokok.

Ketika saya remaja, sebetulnya juga pernah iseng-iseng merokok beberapa kali. Tujuannya, agar saya dianggap "lelaki sejati" di mata teman-teman saya.

Tapi, sungguh saya tidak merasakan di mana letak kenikmatan merokok itu. Yang terasa lidah saya pahit serta ketidaknyamanan saat di mulut saya penuh asap.

Karena teman-teman saya menyarankan saya tak usah merokok kalau tidak merasa nikmat, maka akhirnya saya putuskan untuk tidak akan mencoba lagi.

Namun, karena teman-teman saya banyak yang perokok, saya dulunya tergolong perokok pasif, yang terpapar asap rokok dari teman-teman.

Alhamdulillah, di kantor tempat saya bekerja sejak tahun 2002 tidak membolehkan karyawannya merokok di ruang kerja.

Karyawan yang ingin merokok terpaksa melakukannya di halaman kantor, atau mencuri-curi kesempatan di tangga darurat antar lantai.

Bersyukur pula pemerintah kian tegas dalam mempersempit ruang gerak perokok di tempat umum. Di atas kendaraan umum dilarang merokok.

Di restoran-restoran juga tidak boleh merokok, namun biasanya disediakan satu ruang khusus bagi para smoker itu.

Hal itu didukung pula oleh regulasi lainnya yang ditetapkan pemerintah, seperti menaikkan cukai rokok. Dengan harga rokok yang makin mahal, diharapkan mengurangi jumlah perokok.

Kabarnya, pemerintah juga akan melarang penjualan rokok secara eceran. Tapi, hal ini tampaknya masih dalam tahap kajian pemerintah.

Jauh sebelum itu, ketentuan promosi rokok juga dibatasi. Contohnya, iklan rokok dilarang di media televisi.

Kemasan rokok pun wajib mencantumkan peringatan keras akan bahaya rokok bagi konsumennya.

Namun demikian, untuk melarang total pabrik rokok tentu tidak mungkin, karena pemerintah juga tak siap dengan alih pekerjaan jutaan orang yang bergantung pada rokok.

Sebut saja, mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, buruh pabrik rokok, hingga pedagang di warung-warung pinggir jalan.

Nah, sekarang yang saya cemaskan adalah anak lelaki saya yang perokok. Soalnya, ia sudah menikah dan punya bayi berusia 1 tahun 5 bulan.

Karena ruang gerak perokok di ruang publik semakin sempit, saya khawatir para perokok itu, termasuk anak saya, melampiasan dendamnya di rumah sendiri atau dalam mobil pribadi.

Di kantor boleh saja mereka tahan tak merokok. Tapi, apa jadinya jika mereka mengkompensasinya dengan banyak merokok di rumah?

Bukankah itu bisa "membunuh" anak dan istri mereka? Hal ini yang sering saya ingatkan kepada anak saya, terutama setelah ia punya bayi.

Ada beberapa hal yang membahayakan bayi jika terpapar asap rokok, termasuk dari asap rokok yang menempel di baju ayahnya atau di dinding rumah.

Pertama, bayi bisa terganggu pernapasannya dan bahkan bisa mengalami kematian mendadak (halodoc.com, 10/8/2021).

Kedua, bayi lebih rentan terkena penyakit lainnya seperti batuk kronis, iritasi mata, infeksi telinga, sakit asma, dan sakit jantung.

Intinya, menghentikan kebiasaan merokok akan jauh lebih baik. O ya sekarang ada tren baru rokok elektrik. Tapi, inipun tetap berbahaya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun