Bersyukur pula pemerintah kian tegas dalam mempersempit ruang gerak perokok di tempat umum. Di atas kendaraan umum dilarang merokok.
Di restoran-restoran juga tidak boleh merokok, namun biasanya disediakan satu ruang khusus bagi para smoker itu.
Hal itu didukung pula oleh regulasi lainnya yang ditetapkan pemerintah, seperti menaikkan cukai rokok. Dengan harga rokok yang makin mahal, diharapkan mengurangi jumlah perokok.
Kabarnya, pemerintah juga akan melarang penjualan rokok secara eceran. Tapi, hal ini tampaknya masih dalam tahap kajian pemerintah.
Jauh sebelum itu, ketentuan promosi rokok juga dibatasi. Contohnya, iklan rokok dilarang di media televisi.
Kemasan rokok pun wajib mencantumkan peringatan keras akan bahaya rokok bagi konsumennya.
Namun demikian, untuk melarang total pabrik rokok tentu tidak mungkin, karena pemerintah juga tak siap dengan alih pekerjaan jutaan orang yang bergantung pada rokok.
Sebut saja, mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, buruh pabrik rokok, hingga pedagang di warung-warung pinggir jalan.
Nah, sekarang yang saya cemaskan adalah anak lelaki saya yang perokok. Soalnya, ia sudah menikah dan punya bayi berusia 1 tahun 5 bulan.
Karena ruang gerak perokok di ruang publik semakin sempit, saya khawatir para perokok itu, termasuk anak saya, melampiasan dendamnya di rumah sendiri atau dalam mobil pribadi.
Di kantor boleh saja mereka tahan tak merokok. Tapi, apa jadinya jika mereka mengkompensasinya dengan banyak merokok di rumah?