Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Utang Negara Makin Besar, Bisa Berkah Bisa Musibah

1 Juni 2023   05:13 Diperbarui: 1 Juni 2023   05:16 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. detikfinance/Zaki Alfarabi/Infografis

Dalam tahun politik seperti sekarang ini, salah satu isu yang jadi topik hangat dan laku dijual sebagai materi kampanye, adalah menyangkut pengelolaan utang negara.

Bagi kubu capres yang mengambil posisi ingin mengubah kebijakan yang sudah ada, tentu utang negara akan digali sisi negatifnya.

Sedangkan bagi capres yang mengambil posisi untuk melanjutkan apa yang sudah dilakukan pemerintah sekarang ini, akan lebih banyak melihat utang negara dari sisi positif.

Menarik untuk mencermati posisi seorang Jusuf Kalla (JK), yang pernah menjabat sebagai dua kali wapres, di periode pertama SBY dan di periode pertama Joko Widodo.

Tentu saja JK tahu seluk beluk utang negara yang makin hari makin menggunung. Sehingga, beban anggaran untuk pengembalian pokok utang plus bunganya juga makin membengkak.

Bahkan, JK sebetulnya juga bagian dari pelaku atau pejabat yang menyetujui utang tersebut, paling tidak ketika beliau menjadi wapres selama 2 periode.

Hanya saja, karena JK sekarang berpihak pada kubu Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Basweden sebagai capres, wajar bila beliau lebih mengedepankan sisi negatif utang negara.

Menurut JK, utang saat ini adalah yang terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Tak kurang dari Rp 1.000 triliun dianggarkan dalam setahun untuk membayar utang, termasuk bunganya.

Perlu dilakukan perubahan agar utang tidak menumpuk dan tidak menimbulkan masalah sosial yang lebih luas, kata JK lebih lanjut.

Sayangnya, seperti apa perubahan yang disarankan JK, tidak begitu jelas atau tidak terungkap dalam pemberitaan di media massa.

Namun, coba sejenak kita alihkan perhatian pada utang di perusahaan-perusahaan raksasa. Perusahaan besar biasanya utangnya besar. 

Justru, sepanjang utang perusahaan masih tertutupi oleh aset perusahaan, secara teoritis tidak menjadi masalah. 

Jika utang lebih besar dari aset, baru berbahaya, karena hal itu berarti modal perusahaan tersebut negatif atau minus.

Jadi, tak heran bila ada perusahaan yang mengumumkan dalam bentuk iklan bahwa perusahaan mereka mendapat kredit dari lembaga keuangan internasional.

Hal itu dianggap sebagai kebanggaan, karena artinya perusahaannya dipercaya oleh lembaga keuangan dan telah dikalkulasi punya prospek yang bagus.

Pihak lembaga keuangan sebagai kreditur tentu tidak mau rugi. Oleh karena itu, jaminan yang layak atas kredit yang dikucurkannya pasti sudah dalam pertimbangannya.

Bahkan, jika perusahaan pengutang selalu lancar dalam mengembalikan dan melunasi kredit, biasanya akan ditawari kredit yang lebih besar lagi.

Hal itu tidak hanya berlaku bagi perusahaan besar. Pedagang kecil pun juga mengalami hal seperti itu.

Memang, ketika pertama kali mengajukan kredit ke bank, pedagang kecil mengalami kesulitan karena ketiadaan jaminan.

Namun, ketika terbukti pedagang kecil itu selalu lancar membayar utang, oleh bank akan ditawari lagi utang yang lebih besar, karena sudah lolos ujian kepercayaan.

Nah, jika utang perusahaan saja sangat njelimet penilaian yang harus dilewatinya, apalagi jika yang berutang atas nama pemerintah satu negara.

Semua risiko akan dikaji oleh pihak pemberi utang, termasuk juga risiko politik atau risiko kedaulatan suatu negara.

Namun, perlu diingat, utang pemerintah kita tak hanya dari luar negeri, justru utang dalam negeri jumlahnya lumayan besar.

Hal itu terbukti dari setiap pemerintah menerbitkan obligasi (surat utang) yang bisa dibeli secara individu, selalu diserbu, laris manis bak kacang goreng. 

Itulah yang terjadi pada Surat Berharga Negara (SBN) yang merupakan utang pemerintah. Jika terlambat beli SBN, akan kehabisan kuota.

Artinya, pemerintah berutang pada warganya sendiri, warganya yang punya keyakinan bahwa pemerintah sangat mampu mengembalikan utang, bahkan dapat bunga yang menarik.

Dengan asumsi sebelum pemerintah dapat utang, studi kelayakannya dibuat dengan benar, review oleh pihak pemberi utang juga dilakukan dengan benar, utang itu bisa membawa berkah.

Tentu, berkah tersebut terjadi karena utang dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, tidak dikorupsi, sehingga manfaatnya lebih besar ketimbang nilai utang.

Namun, jika prosedur mendapatkan utang tidak benar dan utang juga digunakan secara tidak benar, antara lain sebagian dikorupsi oknum pejabat, inilah yang disebut musibah.

Istilah aset negara tergadai, bukan sekadar ucapan provokatif, jika nantinya aset yang jadi jaminan utang diambil alih kreditur, karena gagal bayar utang.

Namun, selama ini, pemerintah RI belum pernah gagal bayar. Justru, beberapa perusahaan besar yang pernah mengalami gagal bayar, sehingga merugikan pembeli surat berharga yang diterbitkannya.

Ada pula istilah yang sering dipakai para politisi, yakni setiap jiwa di negara kita menanggung utang sekian rupiah, termasuk bayi yang baru lahir. 

Istilah itu agaknya kurang tepat. Soalnya, atas utang pemerintah, sudah tercatat aset apa saja yang jadi jaminannya. Perlu diketahui, total aset semua BUMN saat ini tidak kurang dari Rp 10 ribu triliun.

Kita berharap agar pemerintah selalu mampu mengelola utangnya dengan baik, sehingga membawa berkah bagi kesejahteraan rakyat, bukan membawa musibah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun