Menjadi sarjana di masa sekarang, agaknya bukan lagi hal yang istimewa. Soalnya, setiap perguruan tinggi di negara kita mencetak ratusan hingga ribuan sarjana setiap tahun.
Padahal, jumlah perguruan tinggi di Indonesia sangatlah banyak, tersebar di semua provinsi, bahkan cukup merata hingga level kabupaten/kota.
Tapi, harus diakui, di antara banyak fakultas di sebuah perguruan tinggi, kebanggaan mereka yang kuliah dan lulus dari fakultas kedokteran, lebih tinggi ketimbang lulusan fakultas lain.
Apalagi, bila seorang sarjana kedokteran telah memenuhi syarat untuk bisa berpraktik sebagai seorang dokter, maka panggilan pak dokter atau bu dokter pun akan disematkan oleh masyarakat.
Sebetulnya, jika seorang dokter punya nama Umar Bakri, tak ada yang salah bila pasiennya atau orang lain memanggilnya Pak Umar tanpa embel-embel dokter.
Hanya saja, sudah kelaziman di negara kita, para dokter dipanggil dengan gelarnya (dokter atau dipendek dengan "dok" saja), bukan namanya.
Nah, baru-baru ini viral berita tentang seorang dokter di Bali yang mengamuk kepada seorang wanita pelayan di restoran yang didatangi sang dokter.
Pasalnya, si wanita pelayan hanya memanggil nama saja, tanpa memanggil dokter kepada lelaki dokter yang relatif masih muda itu.
Bisa jadi pelayan tersebut tidak tahu bahwa tamunya yang bernama Komang Teguh Kelana itu adalah seorang dokter.
Bisa jadi pula si pelayan sudah tahu, tapi konsep di restorannya yang bernama "Karens Diner Bali", memang punya aturan tersendiri yang sudah diketahui pengunjung di awal kedatangannya.
Maka, kejadian yang berlangsung pada Minggu siang (14/5/2023) itu berakhir dengan penganiayaan secara fisik oleh Dokter Teguh pada pelayan bernama Tiara.
Bahwa kemudian beredar pernyataan permintaan maaf dari sang dokter di akun Instagram pribadinya, cap sebagai dokter yang emosional mungkin sudah melekat pada dirinya.
Bukan sekadar emosional saja, tapi gila hormat harus dipanggil dokter pun, rasanya tidak layak ditiru oleh dokter lain.
Terlepas dari kasus di atas, memang ada saja orang yang demikian tersinggung bila jabatan atau gelarnya tak disebutkan.
Konon, sebagian profesor bila tak dipanggil "Prof" oleh orang lain, apalagi oleh mahasiswa bimbingannya, bisa membuat suasana jadi rusak.
Demikian juga di banyak lembaga dan instasi. Jika di negara barat, anak buah memanggil nama saja pada atasannya, merupakan hal biasa.
Namun, jangan coba-coba lakukan hal itu di negara kita. Karena sopan santun di negara kita sangat dijunjung tinggi.
Jadi, kata panggilan Pak Dirut, Pak Ketum, Pak Gubernur, Ibu Direktur, dan sebagainya, menjadi hal yang lazim dalam berkomunikasi dengan para pejabat.
Bahkan, dalam bergaul sehari-hari pun bagi seorang yang sudah menunaikan ibadah haji, panggilan Pak Haji langsung melekat pada dirinya.
Kadang-kadang, banyak juga pedagang yang merayu konsumennya, dengan sebutan Pak Haji atau Bu Haji (seharusnya Bu Hajjah), meskipun belum tentu konsumen itu sudah naik haji.
Hal demikian sebetulnya baik-baik saja, sebagai bentuk penghormatan kepada lawan bicara kita.
Hanya saja, jangan dilakukan terlalu berlebihan, sehingga terkesan terlalu menghamba atau terlalu merendahkan diri.
Bagi mereka yang jadi lawan bicara, jangan pula kecewa bila suatu saat orang lain tidak memanggil gelar atau jabatannya.
Nilai seseorang sebetulnya bukan terletak dari gelar atau jabatannya, tapi dari kepribadiannya yang baik dan perbuatannya yang bermanfaat bagi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H