Baru-baru ini beredar di media sosial video tentang panjangnya anteran warga yang mengurus perceraian di Pengadilan Agama (PA) Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Mendadak sontak viedo itu jadi viral, mau cerai kok seperti antre sembako. Gejala apa ini? Apakah ada kaitannya dengan usai lebaran?
Siapa tahu, karena kondisi keuangan yang sudah habis-habisan setelah lebaran, termasuk biaya perjalanan mudik pulang pergi, memicu pertengkaran di rumah tangga.
Ternyata, Kepala PA Cibinong mengakui bahwa pascalebaran memang secara volume jumlah perkara yang masuk, cukup signifikan bertambah (cnnindonesia.com, 12/5/2023).
Meskipun demikian, menurut Suryadi, demikian nama Kepala PA Cibinong itu, antrean panjang dalam video yang viral bukan hanya mereka yang mengajukan permohonan cerai.
Ada juga dari mereka yang antre itu yang bermaksud untuk konsultasi, meminta informasi, atau mengambil produk akta cerai.
Menurut Suryadi, pada bulan puasa yang mengurus perceraian relatif sedikit, hanya sekitar 25 orang per hari, karena bulan puasa banyak yang menahan diri.
Setelah lebaran, PA Cibinong terpaksa membatasi hanya melayani 50 perkara dalam sehari. Kalau tidak dibatasi, perkara yang masuk bisa 100, tambah Suryadi.
Jadi, mengacu pada penjelasan Suryadi di atas, bisa ditafsirkan bahwa antrean di atas bukan karena habis-habisan seusai lebaran.Â
Tapi, agaknya sudah ada niat mereka untuk menggugat cerai sebelum itu, hanya waktunya kurang tepat bila dilakukan saat bulan puasa.
Hanya saja, perlu diteliti lebih lanjut, fenomena ramainya perceraian itu apakah terjadi di daerah tertentu saja, atau menyebar di banyak daerah.
Kuat dugaan bahwa hal itu ada kaitannya dengan masih banyaknya pernikahan dini yang kedua mempelai masih berusia belasan tahun, yang terjadi di desa-desa.
Pasangan yang secara mental dan ekonomi belum siap untuk menikah itu, memang rawan sekali terjadi gesekan. Inilah yang antara lain menjadi pemicu banyaknya yang menggugat cerai.
Bercerai ketika pasangan suami istri (pasutri) belum dikaruniai anak, mungkin tidak terlalu berat dampak psikologisnya, sepanjang kedua pihak ikhlas.
Jika sudah punya anak, ceritanya jadi lain. Boleh saja ada istilah mantan istri atau mantan suami. Tapi, tak ada istilah mantan anak, mantan ayah atau mantan ibu.
Sebagai tindakan pencegahan dalam rangka menahan laju angka percerian, penceramah agama dan pemuka masyarakat perlu lebih intens lagi melakukan sosialisasi di desa masing-masing.
Tentu, materi sosialisasi lebih banyak pada bagaimana caranya agar pasutri bisa membina keluarga yang harmonis, saling mendukung dan saling menghargai.
Sedangkan terhadap mereka yang terlanjur bercerai, juga perlu dilakukan sosialisasi, agar komunikasi dengan anak-anaknya tidak terputus.
Yang lebih penting lagi, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang baik, harus tetap terlaksana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI