Hanya saja, perlu diteliti lebih lanjut, fenomena ramainya perceraian itu apakah terjadi di daerah tertentu saja, atau menyebar di banyak daerah.
Kuat dugaan bahwa hal itu ada kaitannya dengan masih banyaknya pernikahan dini yang kedua mempelai masih berusia belasan tahun, yang terjadi di desa-desa.
Pasangan yang secara mental dan ekonomi belum siap untuk menikah itu, memang rawan sekali terjadi gesekan. Inilah yang antara lain menjadi pemicu banyaknya yang menggugat cerai.
Bercerai ketika pasangan suami istri (pasutri) belum dikaruniai anak, mungkin tidak terlalu berat dampak psikologisnya, sepanjang kedua pihak ikhlas.
Jika sudah punya anak, ceritanya jadi lain. Boleh saja ada istilah mantan istri atau mantan suami. Tapi, tak ada istilah mantan anak, mantan ayah atau mantan ibu.
Sebagai tindakan pencegahan dalam rangka menahan laju angka percerian, penceramah agama dan pemuka masyarakat perlu lebih intens lagi melakukan sosialisasi di desa masing-masing.
Tentu, materi sosialisasi lebih banyak pada bagaimana caranya agar pasutri bisa membina keluarga yang harmonis, saling mendukung dan saling menghargai.
Sedangkan terhadap mereka yang terlanjur bercerai, juga perlu dilakukan sosialisasi, agar komunikasi dengan anak-anaknya tidak terputus.
Yang lebih penting lagi, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang baik, harus tetap terlaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H