Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Uang Rusak dan 5 Hal Kenapa Enggan Menabung di Bank

15 Mei 2023   05:22 Diperbarui: 15 Mei 2023   07:38 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin banyak saja berita yang berkaitan dengan cara menyimpan uang secara tidak layak yang dilakukan oleh seseorang. Maksud tidak layak, karena membuat uang menjadi rusak.

Memang, ada saja orang yang demi praktisnya menyimpan uang di tempat tertentu yang relatif tersembunyi di rumahnya.

Uang tersebut dibiarkan begitu saja, tidak dilihat kondisinya setiap beberapa bulan sekali. Hingga, setelah bertahun-tahun dan sudah akan digunakan, baru dilihat dengan maksud akan dihitung.

Ketika itulah si pemilik uang menjadi kaget, karena uang yang sudah membukit itu bisa saja sudah hancur dimakan rayap.

Atau, warnanya sudah sedemikian pudar, sehingga angka dan huruf yang tetera, tak bisa dibaca lagi.

Bahkan, kalau pun disimpan dalam celengan, tetap tidak ada jaminan. Dalam jangka waktu lama, uang dalam celengan berpotensi dimakan rayap.

Di atas telah disinggung tentang banyaknya kasus yang diberitakan media massa, berkaitan dengan kerugian seseorang gara-gara menyimpan uang secara tidak layak.

Kasus terbaru dialami oleh Rustini, warga Kabupaten Pekalongan. Ia menyimpan uang dalam toples dan diletakkan di kolong tempat tidurnya.

Hingga empat tahun berlalu, Rustini ingat akan uang tersebut dan membongkarnya. Ternyata sebagian uangnya rusak karena lembab.

Jadi, bukan hanya soal rayap yang menjadi penyebab seperti pada kasus-kasus terdahulu, tapi juga udara yang lembab.

Dari total Rp 40 juta uang Rustini, Rp 23,5 juta sudah ditabung di sebuah bank di Pekalongan. 

Sisanya Rp 16,5 juta tidak bisa diterima bank karena tingkat kerusakannya cukup tinggi, dan disarankan ditukar ke Bank Indonesia (BI) terdekat, yakni BI Tegal.

Rustini masih beruntung, BI Tegal menukar sebesar 15,9 juta. Hanya Rp 600.000 yang ditolak BI karena keaslian uang tak bisa diperiksa.

Harus diakui bahwa pelayanan BI sebagai lembaga yang berwenang, sudah baik dalam melayani masyarakat yang ingin menukar uang rusak.

Bahkan, terhadap kasus yang viral di media sosial, petugas BI bersedia mendatangi rumah warga yang uangnya rusak tersebut.

Tapi, BI sendiri punya kriteria, uang rusak yang bagaimana yang bisa ditukar, dan yang sedemikian parahnya tak bisa lagi ditukarkan.

Bisa dibayangkan, betapa kerugian warga yang ceroboh dalam meyimpan uang. Padahal, mereka rata-rata dari kalangan bawah dengan penghasilan relatif kecil.

Menjadi pertanyaan, saat menabung di bank demikian mudah, kenapa masih banyak orang yang enggan menyimpan uangnya di bank.

Kantor bank ada di mana-mana. Di kota besar, satu bank yang sama bisa punya belasan hingga puluhan kantor. Di kota kecamatan pun rata-rata sudah ada kantor bank. 

Ada pula agen bank yang biasanya pemilik kios yang mendapat kepercayaan bekerja sama dengan bank . Belum lagi kemudahan membuka rekening bank secara online.

Lalu kenapa masih ada yang enggan menabung di bank? Pertama, diduga karena merasa keberatan terkena biaya administrasi bulanan yang dibebankan bank kepada penabung.

Kedua, di kantor bank tertentu sering terlihat antrean nasabahnya, sehingga berurusan dengan bank bisa memakan waktu berjam-jam.

Ketiga, ke bank harus terlihat rapi, sehingga membuat enggan kalangan bawah yang terbiasa berpakaian ala kadarnya.

Keempat, andaipun tidak ke kantor bank dan bertransaksi secara online saja, ini juga membuat enggan mereka yang belum melek teknologi. 

Kelima, berita tentang uang nasabah bank yang dibobol, juga membuat semakin enggan sebagian orang untuk menabung di bank.

Hal di atas menjadi tantangan bagi pemerintah dan perbankan, bagaimana agar program inklusi keuangan bisa berjalan dengan baik.

Seperti diketahui, program inklusi keuangan bermaksud agar pelayanan berbagai produk bank mampu menjangkau semua kalangan, termasuk kalangan bawah.

Jika program inklusi keuangan berhasil sepenuhnya, diharapkan tidak ada lagi kasus seperti yang dialami Rustini yang telah dibahas sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun