Dari total Rp 40 juta uang Rustini, Rp 23,5 juta sudah ditabung di sebuah bank di Pekalongan.Â
Sisanya Rp 16,5 juta tidak bisa diterima bank karena tingkat kerusakannya cukup tinggi, dan disarankan ditukar ke Bank Indonesia (BI) terdekat, yakni BI Tegal.
Rustini masih beruntung, BI Tegal menukar sebesar 15,9 juta. Hanya Rp 600.000 yang ditolak BI karena keaslian uang tak bisa diperiksa.
Harus diakui bahwa pelayanan BI sebagai lembaga yang berwenang, sudah baik dalam melayani masyarakat yang ingin menukar uang rusak.
Bahkan, terhadap kasus yang viral di media sosial, petugas BI bersedia mendatangi rumah warga yang uangnya rusak tersebut.
Tapi, BI sendiri punya kriteria, uang rusak yang bagaimana yang bisa ditukar, dan yang sedemikian parahnya tak bisa lagi ditukarkan.
Bisa dibayangkan, betapa kerugian warga yang ceroboh dalam meyimpan uang. Padahal, mereka rata-rata dari kalangan bawah dengan penghasilan relatif kecil.
Menjadi pertanyaan, saat menabung di bank demikian mudah, kenapa masih banyak orang yang enggan menyimpan uangnya di bank.
Kantor bank ada di mana-mana. Di kota besar, satu bank yang sama bisa punya belasan hingga puluhan kantor. Di kota kecamatan pun rata-rata sudah ada kantor bank.Â
Ada pula agen bank yang biasanya pemilik kios yang mendapat kepercayaan bekerja sama dengan bank . Belum lagi kemudahan membuka rekening bank secara online.
Lalu kenapa masih ada yang enggan menabung di bank? Pertama, diduga karena merasa keberatan terkena biaya administrasi bulanan yang dibebankan bank kepada penabung.