Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menulis Skripsi di Era Mesin Tik Manual dan Tipp-Ex

10 Mei 2023   06:11 Diperbarui: 10 Mei 2023   06:41 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak mahasiswa yang merasa kewajiban untuk menulis skripsi sebagai momok atau sebagai hantu yang menakutkan. Padahal, tahapan itu mau tak mau harus dilalui, agar sah menjadi sarjana.

Kiat terbaik, sejak menjadi mahasiswa, kebiasaan membaca perlu ditingkatkan dibandingkan dengan waktu masih di sekolah menengah.

Membaca buku teks dan catatan kuliah saja, apalagi hanya di waktu akan ujian dengan gaya membaca SKS (sistem kebut semalam), tidak cukup.

Justru, membaca buku-buku berbagai bidang ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan mata kuliah yang ditekuni, akan menambah wawasan dan memberi perspektif baru.

Lanjutkan lagi dengan membaca berbagai skripsi dari alumni terdahulu yang ada di perpustakaan kampus. 

Nah, dari sana akan muncul ide untuk menjadi topik skripsi. Memang, meniru skripsi yang sudah ada, bukan itu yang diinginkan.

Tapi, melihat aspek lain dari skripsi yang sudah ada, atau melakukan studi kasus di tempat lain dengan rujukan skripsi yang ada, bisa menjadi alternatif penulisan skripsi.

Dari berbagai referensi, terutama untuk rumpun ilmu sosial, skripsi lebih banyak berupa analisis atas penerapan sebuah teori di lapangan.

Maksud di lapangan itu bisa di sebuah perusahaan, di sebuah lembaga, atau di suatu tempat yang spesifik lainnya.

Jadi, pada prinsipnya, cara membuat skripsi adalah "membedah" fakta yang ada di lapangan, dengan "pisau" teori yang dipelajari di bangku kuliah.

Tentu, semuanya akan bergantung pada hasil konsultasi  dengan dosen pembimbing. Dalam hal ini, kemampuan komunikasi yang baik dengan dosen pembimbing sangat diperlukan.

Bila mahasiswa berlaku sopan, menyimak dan mencatat kata-kata dosen pembimbing, dosen yang killer pun, tidak akan membuat ciut nyali mahasiswa.

Masalahnya, tinggal "berperang" dengan diri sendiri, bagaimana agar tetap bersemangat mengetik halaman demi halaman dari skripsi tersebut.

Sebetulnya, sejak adanya personal computer dan laptop, mengetik bukan hal yang melelahkan atau membosankan.

Apalagi, dengan memecah dalam beberapa file, penulisan skripsi bisa saja dimulai dari bagian tertentu yang kebetulan idenya muncul di kepala.

Bayangkan di era dulu, hingga dekade 1980-an, ketika satu-satunya cara mengetik, ya memakai mesin tik. 

Jika ada kesalahan ketik, di komputer sangat gampang menghapusnya, serta mengganti dengan kalimat yang betul.

Atau, jika ada ide baru, sehingga yang sudah diketik di beberapa bagian tertetu harus ganti kalimat, juga tak masalah jika pakai laptop.

Tapi, tidak begitu di zaman mesin ketik. Jika kesalahan masih tidak banyak, bisa dihapus pakai tipp-ex, lalu ditindih dengan kalimat yang betul.

Kalau dalam satu halaman terlalu banyak yang salah, terpaksa halaman tersebut dibuang ke tong sampah, dan diulang mengetik di kertas yang masih kosong. 

Bahkan, yang kuliah di dekade 1980-an masih beruntung karena sudah ada tipp ex itu tadi dan juga sudah banyak mesin foto kopi.

Sebelum ada foto kopi, skripsi harus diketik rangkap banyak pakai karbon, atau di ketik di kertas stensil untuk nantinya dicetak dengan mesin stensil. 

Namun demikian, tidak adil juga kalau generasi tua mengatakan perjuangannya membuat skripsi lebih sulit dibanding mahasiswa sekarang.

Masing-masing zaman punya tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Sekarang, berkat bantuan artificial intelligence (AI), memang mudah mencari referensi.

Justru karena kemudahan itu, godaan anak sekarang untuk bermain gawai lebih banyak sebagai penghambat pengerjaan skripsi.

Bagaimanapun juga, dengan tekad yang kuat dan disiplin, membuat skripsi boleh dikatakan bukan hal yang sulit. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun