Gila kerja boleh-boleh saja, asal jangan kerja lupa kencan. Maksud kencan di sini adalah semacam kehidupan pribadi dari seorang pekerja.
Bagi mereka yang telah berkeluarga, tentu menyangkut tentang tersedianya waktu untuk istri atau suami beserta anak-anaknya.
Sedangkan bagi mereka yang masih jomblo, perlu pula punya waktu untuk bersosialisasi dalam rangka menemukan pasangan hidup yang cocok.
Jangan meniru banyak orang Jepang atau beberapa negara maju lainnya, yang karena workaholic, malah jadi tak mau menikah.
Ada anggapan bahwa dengan menikah, seseorang akan terbelenggu atau tidak punya kebebasan lagi.
Anggapan yang lebih parah, keluarga menjadi faktor penghambat dalam megembangkan karier untuk menggapai posisi puncak di tempatnya bekerja.
Padahal, anggapan tersebut dapat dilihat dengan kacamata yang positif. Keluarga bisa menjadi sumber inspirasi, sebagai tempat curhat, dan sumber rasa nyaman dan damai.
Tentu, hal itu bisa dicapai, jika keluarga tersebut berjalan dengan harmonis, antar suami istri saling menghargai dan saling mendukung.
Sebetulnya, bagi pihak manajemen perusahaan pun, akan mendapat keuntungan bila mempunyai para pekerja yang bahagia dalam kehidupan pribadinya.
Bahkan, keharmonisan keluarga menjadi salah satu pertimbangan untuk promosi pekerja di banyak perusahaan yang sudah bagus bidang human capital-nya.
Jadi, sekiranya ada posisi jabatan yang lowong, akan diteliti siapa saja kandidat yang memenuhi persyaratan untuk mengisi jabatan tersebut.
Nah, persyaratan itu tidak hanya prestasi atau kinerja seorang pekerja, tapi juga kondisi keharmonisan keluarganya.
Logikanya begini, jika keluarga harmonis, maka seorang pekerja akan merasa tenang dan bisa fokus menyelesaikan tugasnya di kantor atau di tempat lain.
Kalau target-target yang dibebankan atasan bisa dicapai atau dilampaui secara konsisten, karier seorang pekerja bisa meningkat drastis.
Setelah lelah bekerja, si pekerja akan merasa nyaman sesampainya di rumah, karena disambut dengan senyum manis dan belaian mesra istri tercinta.
Maka, kehidupan akan seimbang antara karier dan keluarga. Saat di rumah, perhatian sepenuhnya untuk keluarga.
Sedangkan bagi yang masih tahap pacaran atau ta'aruf, bila punya calon suami atau istri yang pintar memotivasi, juga akan berpengaruh positif bagi pengembangan kariernya.
Sebaliknya, pasangan suami istri yang sering bertengkar, akan berpengaruh negatif terhadap karier. Bayangkan, rasa kesal terhadap pasangan bisa membuat mood saat berkeja jadi rusak.
Sebagai bukti sebuah instansi atau perusahaan memandang penting keharmonisan keluarga para pekerjanya, bisa dilihat dari ketentuan yang diberlakukan, antara lain seperti di bawah ini.
Pertama, ada ketentuan wajib cuti bagi pekerja yang tidak cuti-cuti selama waktu tertentu, katakanlah selama 1 tahun.
Tujuannya, agar pekerja punya waktu khusus untuk rekreasi bersama keluarga atau untuk bersosialisasi dengan sanak familinya.
Ada lagi tujuan lainnya, yakni untuk melihat apakah sistem back-up bisa berjalan, yakni pekerjaan tetap lancar meskipun key person lagi cuti.
Kedua, adanya acara family day atau family gathering yang dilaksanakan di tempat wisata dengan biaya perusahaan atau instansi.
Tujuannya, agar terjadi kekompakan tidak saja antar pekerja, tapi juga antar keluarga pekerja.
Ketiga, adanya organisasi informal yang beranggotakan istri para pekerja, semacam Dharma Wanita di istansi pemerintahan.
Melalui organisasi itu, para istri dibekali bagaimana membangun keluarga yang harmonis dan memahami pekerjaan suami.
Keempat, setiap mutasi pekerja ke kota lain, diberikan biaya yang layak agar satu keluarga bisa pindah, tidak membuat terpisah antara pekerja dan keluarganya.
Intinya, karier dan keluarga adalah sesuatu yang seiring sejalan, bukan mengorbankan salah satunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H