Pada 2 hari pertama di bulan Mei, kita memperingati 2 hal yang berbeda, namun sebetulnya hubungan keduanya sangat dekat. Boleh dikatakan, mereka berdua kakak beradik.
Pertama, pada 1 Mei merupakan Hari Buruh, dan berikutnya pada 2 Mei disebut dengan Hari Pendidikan Nasional (Harpenas).
Hari Buruh berlangsung secara internasional, dalam arti juga diperingati di banyak negara lain. Sedangkan Harpenas hanya untuk Indonesia saja.
Seperti sudah kodratnya, perjuangan buruh sering diindentikkan dengan aksi unjuk rasa alias demonstrasi.Â
Tak heran, pada Hari Buruh, aksi unjuk rasa demikian marak. Tentu, hal ini berkaitan dengan kesejahteraan buruh yang masih jauh di bawah kesejahtaraan profesi lainnya.
Adapun peringatan Harpenas identik dengan upacara di sekolah-sekolah. Sepertinya, masalah pendidikan tidaklah sepelik masalah buruh, dalam arti tak perlu sampai unjuk rasa.
Namun, seperti yang telah diungkap di atas, hubungan keduanya sangat dekat. Ada hubungan sebab akibat antar keduanya.
Bila masalah pendidikan terpecahkan, mutu lulusan sekolah akan lebih baik. Bukankah semua buruh, termasuk yang ikut unjuk rasa, merupakan "produk" dari sistem pendidikan kita sendiri?
Bukankah setelah tamat sekolah atau kuliah, ujung-ujungnya semua orang akan berkerja? Pengertian bekerja itu bisa sebagai pelaku usaha, bisa juga sebagai orang gajian.
Bila seseorang memperoleh pendidikan yang baik, peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan kesejahteraan, juga lebih besar.
Tanpa bermaksud mempertentangkan, kita tentu paham apa beda kerja keras dengan kerja cerdas.
Nah, kerja keras yang lebih menggunakan kekuatan fisik sering ditujukan bagi pekerja yang dikelompokkan sebagai buruh.
Sedangkan kerja cerdas yang lebih menggunakan kekuatan "otak" (analisis, konseptual, dan strategis), sering ditujukan bagi pekerja profesional.
Jelaslah, kesejahteraan pekerja profesional bisa jadi dua atau tiga tingkat di atas kesejahteraan buruh yang terpatok pada upah minimum provinsi.
Sistem pendidikan di sekolah atau kampus saat ini, sudah mengarah menyiapkan lulusan yang siap pakai, yang memang punya kompetensi yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja.
Meskipun demikian, dalam sistem pendidikan yang bagus pun, tetap ada saja sebagian pelajar yang kurang mampu menyerap berbagai ilmu pengetahuan.
Mereka yang tertinggal itu nantinya terpaksa ikut kelompok "kerja keras".
Tapi, perlu pula diingat, dalam sistem pendidikan yang kurang kondusif pun, ada saja pelajar yang mampu berpikir kreatif dan nantinya masuk kelompok "kerja cerdas".
Bahkan, ada orang-orang yang drop out sekolah, kemudian mampu belajar secara otodidak, dan meraih kesuksesan sebagai entrepreneur.
Jelaslah, jika buruh ingin meningkatkan kesejahteraan, selain menuntut kepada perusahaan tempatnya bekerja, perlu pula kesadaran para buruh untuk meningkatkan kapasitasnya.
Syukur-sukur bila perusahaan tempat si buruh bekerja menyediakan program pengembangan pekerja.
Jika tidak, buruh perlu mengikuti pendidikan secara mandiri, misalnya ikut kuliah di malam hari.
Hanya saja, kembali terbentur pada masalah biaya. Dari mana buruh punya dana untuk membiayai kuliahnya?
Barangkali pemerintah perlu memberikan bantuan pendidikan bagi buruh yang ingin memperoleh pendidikan lanjutan.
Apabila kesejahateraan buruh meningkat, generasi berikutnya akan terbantu, karena pendidikan anak-anak mereka akan lebih baik.
Sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan buruh, pembenahan pendidikan perlu dilakukan lebih intensif lagi.
Tak cukup membenahi soal kurikulum saja. Persoalan pengadaan guru, program peningkatan kesejahteraan guru, dan peningkatan kualitas guru, perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Selamat Hari Buruh dan Selamat Hari Pendidikan Nasioal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H