Program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil, karena jumlah anak putus sekolah masih terbilang banyak.
Tanpa mengutip data statistik pun, kita bisa melihat langsung, betapa banyak anak-anak yang pada jam sekolah, justru berkeliaran di jalanan.
Ada yang sekadar bermain, tapi tak sedikit yang terpaksa mencari uang, seperti menjadi pedangang asongan, penyemir sepatu, pengamen, dan sebagainya.
Dapat dibayangkan, karena memperoleh pendidikan yang baik bisa disebut sebagai cerminan masa depan seorang anak, maka masa depan anak putus sekolah mungkin akan suram.
Ada banyak alasan kenapa seorang anak akhirnya putus sekolah, tapi yang terbanyak jelas karena alasan ekonomi.
Sekolah gratis tak berarti tak ada biaya yang harus dikeluarkan. Apalagi, bila orang tuanya punya penghasilan yang pas-pasan, maka pendidikan anak tidak jadi prioritas.
Padahal, dengan putus sekolah akan semakin sulit untuk memutus lingkaran kemiskinan. Orang tua mewariskan kemiskinan ke anaknya, begitu juga nanti anaknya ke generasi selanjutnya.
Memang, soal rezeki adalah rahasia Allah. Bisa saja anak putus sekolah tergugah untuk belajar secara otodidak, dan kelak jadi orang yang sukses.
Begitu pula mereka yang dapat pendidikan yang baik, katakanlah menjadi seorang sarjana, belum tentu akan berhasil dalam meniti kariernya di masa depan.
Namun demikian, secara umum, pendidikan sangat besar peranannya agar seorang anak punya ilmu pengetahuan yang luas, sekaligus punya karakter yang baik.
Pengetahuan dan karakter itu menjadi modal dasar bagi siapapun dalam menjalani kehidupannya hingga hari tua.
Bahkan, para pakar menyepakati bahwa melalui pendidikan, lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal, bisa diputus.
Mari kita sepakati, bahwa berharap pada pemerintah semata agar anak putus sekolah bisa dikembalikan ke sekolah, tidaklah cukup.
Masyarakat pun, umpamanya melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau sebagai gerakan informal, perlu berkontribusi demi menurunkan jumlah anak putus sekolah.
Nah, di bawah ini merupakan saran yang kiranya bisa menjadi langkah awal bagaimana anggota masyarakat biasa bisa berperan aktif.
Alhamdulillah, para penulis dan pembaca di Kompasiana, termasuk di antaranya yang bergabung di Komunitas Penulis Berbalas (KPB), banyak sekali yang berprofesi sebagai pendidik.
Tentu, dengan dibantu rekan-rekan guru tersebut, akan lebih gampang mendata murid atau pelajar yang berasal dari kalangan bawah, yang putus sekolah atau berpotensi putus sekolah.
Kalau tidak salah, pendidik yang aktif menulis di Kompasiana tersebar di berbagai penjuru tanah air, dari Aceh hingga Papua, dari Sulawesi Utara hingga Nusa Tenggara Timur.
Para pendidik diharapkan mampu mendekati orang tua yang anaknya putus sekolah atau yang terancam putus sekolah.
Bahkan, anggota Kompasiana yang bukan guru pun, bisa pula melihat di lingkungan terdekatnya, apakah ada anak putus sekolah.
Betul, hanya memberikan pemahaman saja kepada orang tua tersebut, tidaklah cukup. Jujur saja, mereka tentu lebih membutuhkan bantuan berupa uang.
Di lain pihak, Kompasiana juga punya banyak anggota yang mempunyai pekerjaan yang relatif baik dengan penghasilan memadai.
Nah, kolaborasi antara anggota Kompasiana yang punya dana dan tergerak hatinya memberikan donasi, dengan para pendidik yang mengetahui anak-anak putus sekolah, akan menghasilan sinergi.
Tinggal lagi, siapa yang menjadi pengelola lalu lintas penerimaan dana dan pengeluaran dana. Ini bisa diinisiasi oleh pihak manajemen Kompsiana sendiri.
Bisa juga mendompleng ke bagian yang membidangi corporate social responsibility (CSR) dari Kelompok Kompas Gramedia (KKG), sebagai induk dari Kompasiana.
Alternatif lain, KPB sebagai salah satu komunitas di Kompasiana, yang menjadi pengelola penghimpunan dan penyaluran dana bagi anak putus sekolah yang mau sekolah kembali.
Tak perlu muluk-muluk. Yang penting kita mulai saja dulu dengan mendata anak-anak yang memerlukan bantuan.Â
Kemudian, para donatur diminta mentransfer donasi ke rekening yang akan ditetapkan pengelola, yang selanjutnya didistribusikan kepada anak-anak yang telah terdata di atas.
Demikian saja saran sederhana melalui tulisan ini. Semoga saran ini bisa bergulir untuk disempurnakan serta bisa diaplikasikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H