Selama bulan puasa tahun ini saya tak sempat menikmati makan bakso, sesuatu yang di luar bulan puasa relatif sering saya lakukan.
Saya menjadi penggemar bakso sudah sejak lama. Tepatnya, sejak saya mengenal bakso ketika masih di bangku kelas 4 atau 5 SD di kota kelahiran saya, Payakumbuh, Sumbar.
Apakah banyak orang Minang penggemar bakso? Setahu saya cukup banyak, meskipun bakso jelas bukan makanan asli Minang.
Dan tidak ada yang namanya Bakso Padang, karena bakso di Sumbar sama saja dengan bakso yang ada di Jakarta atau kota-kota lain di Jawa.
Ini berbeda dengan Sate Padang, Lontong Sayur Padang, Soto Padang, Martabak Kubang, atau Bubur Kampiun, yang jelas-jelas makanan khas Minang.
Belum lagi kalau kita bicara soal Nasi Padang (termasuk Nasi Kapau sebagai salah satu varian Nasi Padang), yang diterima oleh berbagai suku di semua wilayah Nusantara.
Namun demikian, mengingat bakso banyak penggemarnya, sekarang sudah banyak urang awak yang pintar membuat bakso dan membuka warung bakso.
Seingat saya, bakso masuk ke Sumbar, atau paling tidak ke Payakumbuh, di awal dekade 1970-an. Seperti sudah saya tulis, ketika itu saya masih SD.
Karena saat itu orang Minang khawatir bakso dan semua makanan yang diawali "bak" mengandung babi, di Sumbar bakso disebut miso.
Tapi, sekarang sudah tak ada masalah, istilah "bakso" tidak lagi menimbulkan penfasiran yang berbeda. Bakso sudah sangat gampang ditemui, bahkan sampai ke desa-desa di Sumbar.
Nah, ada dua pedagang bakso bergerobak yang jadi pelopor perbaksoan di Payakumbuh. Keduanya adalah perantau dari Jawa, kalau tak salah dari Wonogiri.
Mas Narto dan Mas Wawan, begitulah nama tukang bakso yang sambil menjalankan gerobaknya punya ciri khas, yakni memukul-mukul mangkok.
Bunyi mangkok dipukul pakai sendok itu, teng...teng...teng, menjadi penanda bahwa ada tukang bakso lewat.
Di bulan puasa, mas-mas itu berdagang di malam hari, pada jam orang-orang mau salat tarawih hingga sekitar pukul 10 malam.
Saya sering diberi kakek uang Rp 10 rupiah (uang logam), yang sudah cukup untuk membeli semangkok bakso ketika itu.
Uniknya, Inyiak (begitu saya memanggil kakek) sering memberikan uang saat beliau mau berangkat salat ke masjid yang agak jauh dari rumah, bukan musala di sebelah rumah kakek.
Beliau selalu membawa payung dan senter. Dengan senter itulah wajah saya disorotnya, lalu diberi uang.
Jadi, ketika anak-anak dulu, saya cukup sering makan bakso di malam hari bulan puasa atau siang hari di luar bulan puasa.
Tapi, setelah saya bekerja dan tinggal di Jakarta, rasanya kurang pas kalau saya ngelayap lagi makan bakso di saat malam hari bulan puasa.
Soalnya, saya berbuka dengan yang manis. Lalu salat magrib. Setelah itu makan nasi, dan sangat jarang pakai lauk bakso.
Sehabis makan nasi, saya akan fokus untuk mengikuti salat Isya dan tarawih di masjid. Kalau saya masih lapar setelah tarawih, hanya makan sepotong kue saja.Â
Sekarang, setelah usai puasa, saya sudah kangen makan bakso lagi. Di Jakarta, ada beberapa tempat bakso favorit nusantara.
Sekadar beberapa nama yang saya ingat adalah Bakso Titoti, Bakso Atom, Bakso Bakwan Malang, Bakso Malang Karapitan, Bakso Mas Kumis, Bakso Cendana, dan  Bakso Solo Samrat.
Sebetulnya, saya lebih suka bakso versi orisinil, dalam arti tak banyak ditambahi jenis makanan lain.
Namun, sekarang ada macam-macam tambahan bakso, seperti bakso telur ayam, telur puyuh, keju, dan berbagai inovasi lainnya.
Ya, semua restoran khusus bakso di atas tampaknya sudah punya pelanggan setia masing-masing.Â
Tulisan ini saya akhiri, karena mau ngebakso.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H