Nah, ada dua pedagang bakso bergerobak yang jadi pelopor perbaksoan di Payakumbuh. Keduanya adalah perantau dari Jawa, kalau tak salah dari Wonogiri.
Mas Narto dan Mas Wawan, begitulah nama tukang bakso yang sambil menjalankan gerobaknya punya ciri khas, yakni memukul-mukul mangkok.
Bunyi mangkok dipukul pakai sendok itu, teng...teng...teng, menjadi penanda bahwa ada tukang bakso lewat.
Di bulan puasa, mas-mas itu berdagang di malam hari, pada jam orang-orang mau salat tarawih hingga sekitar pukul 10 malam.
Saya sering diberi kakek uang Rp 10 rupiah (uang logam), yang sudah cukup untuk membeli semangkok bakso ketika itu.
Uniknya, Inyiak (begitu saya memanggil kakek) sering memberikan uang saat beliau mau berangkat salat ke masjid yang agak jauh dari rumah, bukan musala di sebelah rumah kakek.
Beliau selalu membawa payung dan senter. Dengan senter itulah wajah saya disorotnya, lalu diberi uang.
Jadi, ketika anak-anak dulu, saya cukup sering makan bakso di malam hari bulan puasa atau siang hari di luar bulan puasa.
Tapi, setelah saya bekerja dan tinggal di Jakarta, rasanya kurang pas kalau saya ngelayap lagi makan bakso di saat malam hari bulan puasa.
Soalnya, saya berbuka dengan yang manis. Lalu salat magrib. Setelah itu makan nasi, dan sangat jarang pakai lauk bakso.
Sehabis makan nasi, saya akan fokus untuk mengikuti salat Isya dan tarawih di masjid. Kalau saya masih lapar setelah tarawih, hanya makan sepotong kue saja.Â