Perayaan Idulfitri 2023 sudah selesai kita lakukan pada Sabtu (22/4/2023) kemarin, meskipun sebagian dari kita melakukannya sehari lebih awal.
Banyak penceramah agama yang mengatakan, bagi mereka yang betul-betul mampu memaksimalkan ibadah selama bulan Ramadan, pada saat 1 Syawal, layak mendapatkan predikat pemenang.
Para pemenang tersebut seperti terlahir kembali ke dunia. Ya, seperti bayi yang baru lahir, karena dosa-dosanya di masa lalu diampuni oleh Allah.
Masalahnya, bagi mereka yang rajin beribadah sekalipun, belum tentu mereka yakin telah menjadi "bayi yang baru lahir".
Apalagi, bagi mereka yang ibadah di bulan puasa ada bolong-bolongnya. Mungkin puasanya tidak bolong, tapi salat tarawih dan tadarusnya yang bolong.
Atau katakanlah aspek ibadahnya oke banget, mungkin aspek muamalah (hubungan sesama manusia) yang belum oke.
Misalnya, tetangga di belakang rumahnya kelaparan tanpa diberi bantuan. Bisa pula masih suka bertindak emosional pada orang lain.
Mungkin juga masih sesekali tanpa sengaja membicarakan aib orang lain, sambil memamerkan kebaikan diri sendiri.
Pokoknya ada banyak penghalang, sehingga merasa menjadi suci sesuci bayi yang baru lahir, rasanya sesuatu yang sangat sulit digapai.
Jadi, kalau ada orang yang merasa suci, mohon maaf, orang tersebut mungkin terlalu berlebihan menilai diriya sendiri.
Adakah orang yang seperti itu? Ya, rasa-rasanya sih ada saja. Bukankah di media sosial gampang ditemukan orang yang mengklaim sebagai pemilik kebenaran?
Orang tersebut gampang menyalahkan orang lain. Sehingga, terjadilah adu saling mengaku benar sesuai versi masing-masing.
Bahkan, jika kita baca di media massa, ada saja orang di masa modern ini yang mengaku sebagai nabi, meskipun akhirnya diamankan oleh pihak berwajib.
Tapi, sekadar berandai-andai saja, katakanlah kita sekarang ini memang beruntung menjadi bayi yang baru lahir.
Maka, kehidupan baru dimulai dari  0 (nol) lagi. Lalu, mampukah kita secara konsisten menjaga kesucian tersebut hingga waktu yang sangat lama?
Tidak hanya ibadah (hubungan dengan Allah) yang harus konsisten kita lakukan, namun juga seperti telah disinggung di atas, bagaimana dengan aspek muamalah alias kesalehan secara soaial.
Berbicara tentang hubungan sesama manusia, faktor akhlak atau budi pekerti menjadi hal yang sangat penting.
Masih terjadinya banyak peristiwa kekerasan, peristiwa kriminal, termasuk perangai pejabat yang korup, semuanya berkaitan dengan akhlak yang sangat merosot.
Tidak cukup itu saja, selain soal ibadah dan akhlak, perlu pula dilengkapi dengan bagaimana kita menjaga hubungan dengan alam semesta.Â
Jangan sampai kita rajin beribadah, saleh secara sosial, namun tanpa sengaja perilaku kita ternyata berkontribusi pada memburuknya kualitas lingkungan hidup.
Kesimpulannya, kalau pun sekarang kita berada di titik nol kilometer, agar berada tetap di jalan yang lurus (istikamah), membutuhkan usaha yang tidak ringan.
Soalnya, terlalu banyak godaan untuk menempun jalan yang menyimpang, atau bahkan berbalik arah.Â
Pembaca Kompasiana, selamat merayakan hari kemenangan, selamat kembali ke fitrah, dan semoga mampu merawat kesucian selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H