Tapi, unsur duka dari kegiatan bukber juga lumayan menyiksa. Lagi-lagi soal macet harus dipertimbangkan, mengingat gara-gara macet, banyak yang terlambat ikut bukber.
Padahal, lokasi bukber sudah dipilih yang relatif dekat dari kantor. Misalnya, para pekerja di sekitar Semanggi memilih bukber di kawasan Bendungan Hilir.
Jaraknya hanya beberapa ratus meter saja, tapi kendaraan roda empat bisa jalan di tempat. Kemudian, saat sampai di depan tempat bukber, giliran mencari termpat parkir yang sulit sekali.
Karena yang memesan bukber juga banyak, terkadang pesanan yang sebelumnya sudah disebutkan kepada pengelola restoran, masih belum siap ketika peserta bukber datang.
Atau, pesanan yang dihidangkan tidak sesuai jenis dan jumlahnya dengan yang dipesan sebelumnya.
Belum lagi "kekacauan" waktu salat magrib. Musala yang relatif kecil tak mampu memuat pengunjung yang berlimpah.
Nah, di penghujung Ramadan ini, mereka yang bukber di mal, kafe, atau restoran di Jakarta akan merasa lebih nyaman.
Soalnya, tidak ada kemacetan menuju tempat bukber dan tidak sulit mencari tempat parkir kendaraan.
Tentu, hal ini sekaligus juga lebih hemat, karena tidak membuang banyak bahan bakar kendaraan untuk mencapai tempat bukber.
Lagi pula, tidak seperti di awal puasa yang membuat banyak orang "lapar mata". Maksudnya, menjelang berbuka, cenderung memesan makanan yang banyak, serasa mampu dilahap.
Di akhir Ramadan, orang-orang sudah realistis, dalam arti mampu memperkirakan jumlah makanan yang sebaiknya dipesan tanpa nantinya mubazir.