Perilaku orang memang berbeda-beda. Ada yang demikian gampang berutang pada famili atau sahabatnya, tapi giliran ditagih, ogah membayar utang.
Di lain pihak, orang yang berutang itu tidak sadar memamerkan barang apa saja yang telah dibelinya untuk berlebaran di akun media sosialnya.
Celakanya, orang yang meminjamkan sering mengintip akun media sosial orang yang meminjam uang. Ya, anggap saja sebagai salah satu cara memata-matai.
Tentu, betapa kecewanya pihak yang meminjamkan. Kebaikannya telah disalahgunakan temannya sendiri yang dulu mengiba-iba memohon dipinjamkan uang.
Tapi, begitu sudah sampai pada tanggal pengembalian yang sudah diperjanjikan, si pengutang pura-pura lupa saja.
Mau tak mau terpaksa diingatkan dan sekaligus ditagih. Namun, ternyata tidak gampang menagih utang, termasuk pada teman sendiri.
Soalnya, jawabannya si teman ini enak saja bahwa ia belum punya uang, seperti tanpa rasa bersalah sama sekali.
Padahal, bila si teman itu ternyata berbohong di bulan puasa, maka pahala puasanya tidak akan diperolehnya.
Artinya, ia berpuasa sekadar capek-capek menahan haus dan lapar saja. Tapi, dalam berinteraksi dengan sesama manusia, masih melakukan hal yang tidak baik seperti berdusta itu tadi.
Coba, apa namanya kalau ia tak berbohong, dari mana ia punya uang untuk berbelanja keperluan lebaran?Â
Jadi, boleh dikatakan rasa tanggung jawabnya sebagai orang yang berutang, sangat rendah. Juga tak tahu apa yang perlu diprioritaskan kalau punya uang.
Membayar utang itu, dilihat dari ajaran agama, sifatnya wajib dan makanya perlu didahulukan daripada membeli keperluan lebaran.
Begitulah, sepertinya ibadah puasa tidak otomatis membuat seseorang mampu membuang kebiasaan buruknya.Â
Nah, bagi yang belum terlanjur menghadapi kasus seperti di atas, perlu disimak, apa tips bagi orang yang diminta pertolongan untuk meminjamkan uang.
Pertama, jika meragukan niat baik si peminjam, tak perlu takut untuk menolak memberikan pinjaman
Kedua, jika meyakini niat baiknya, boleh saja meminjamkan sebanyak yang dibutuhkan si peminjam.Â
Tapi, jika ternyata nantinya susah ditagih, jangan mau meminjamkan pada kesempatan berikutnya, termasuk kalaupun pinjaman yang lama dilunasinya (setelah ditagih beberapa kali).
Boleh memberikan pinjaman baru, tapi tidak sebanyak yang dimauinya. Atau, tolak saja juga tidak apa-apa.
Ketiga, jika meyakini si peminjam ini memang orang susah, pinjamkan sebanyak yang kita ikhlaskan sebagai zakat atau sedekah, jika nantinya memang tak bisa ditagih.
Berikutnya, dalam hal kita sebagai peminjam sebaiknya melakukan hal-hal berikut.
Pertama, pertimbangkan dari mana sumber pelunasan kita dapatkan, jika akan meminjam pada famili atau sahabat sendiri.
Kedua, jangan mengorbankan hubungan kekeluargaan atau persabahatan dengan meminjam tanpa komitmen untuk membayar kembali.
Ketiga, jika keperluan meminjam untuk membeli sesuatu yang masih bisa ditunda, jangan memaksakan diri untuk meminjam.
Namun, jika untuk kebutuhan pokok, jujurlah kepada keluarga atau teman yang diminta pertolongannya. Jelaskan kondisi keuangan kita dan tentang kemungkinan kapan akan bisa dikembalikan.
Jelaslah, kita sebaiknya jangan gampang saja meminjam ke orang lain. Jangan sampai merusak hubungan silaturahmi.
Kejujuran dan niat baik dari orang yang berutang sangat diperlukan. Inilah yang menjadikan seseorang dapat dipercaya atau tidak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI