Sudah sejak beberapa tahun terakhir ini saya tak pernah lagi mengirim kartu lebaran, meskipun saya masih menerima beberapa kartu.
Tapi, kartu yang saya terima bukan yang dikirimkan melalui kantor pos seperti puluhan tahun lalu, melainkan diselipkan dalam hampers yang saya dapatkan.
Waktu masih aktif bekerja, saya dapat jatah sekian banyak kartu yang dicetak khusus oleh bagian logistik perusahaan tempat saya bekerja.
Tapi, saya sendiri tak banyak memanfaatkan kartu gratis tersebut, selain mengirimkannya kepada beberapa teman kantor yang berdinas di daerah.Â
Adapun kartu yang akan saya kirimkan melalui kantor pos buat dikirim kepada sanak famili, saya pilih dan beli sendiri kartu lebarannya.
Biasanya saya membeli kartu lebaran di Gramedia Cabang Matraman atau di Cabang Blok M, keduanya di Jakarta.
Kenapa saya tak mau menggunakan kartu gratis untuk keperluan pribadi? Bukan sok idealis, tapi dengan adanya logo perusahaan di kartu lebaran, menurut saya jadi kurang estetis.
Saya menikmati menulis pakai tulisan tangan di masing-masing kartu, serta menandatanganinya sebelum dikirim ke kantor pos.
Agak melelahkan serta membutuhkan waktu yang lama untuk menulis berulang-ulang di banyak kartu yang akan dikirim.
Tapi, semuanya saya lakukan dengan senang hati, termasuk saat ke kantor pos memebeli dan menempelkan perangko, serta memasukkan ke kotak yang akan dikirim.
Nah, tentu juga sama menyenangkannya ketika pak pos menyampaikan kartu balasan yang dikirim kepada saya. Ada sentuhan personal dari tulisan tangan yang saya baca.
Sedangkan kartu lebaran dalam rangka relasi dinas, sentuhan personalnya boleh dikatakan minimalis.
Bayangkan, seorang pejabat main cari gampangnya saja dalam mengirimkan kartu lebaran bagi semua relasi bisnisnya.
Kalimat standar diketikkan oleh anak buah si pejabat di setiap kartu, lalu yang menandatangani pun bukan dari tangan si pejabat.
Biar tidak pegal, si pejabat membuat stempel tanda tangannya sendiri, dan anak buahnya ditugaskan untuk menyetempel.
Semua kisah keseruan mengirim dan menerima kartu lebaran seperti yang dipaparkan di atas, sekarang sudah tinggal kenangan, sebagai bahan cerita bagi anak cucu.
Di era media sosial saat ini, semuanya berubah menjadi lebih praktis, termasuk dalam menyampaikan selamat Idul Fitri.
Memang, yang namanya kartu lebaran tetap ada. Dengan kartu lebaran digital, foto si pengirim bisa dipajang di kartu tersebut.
Tapi, bagi banyak orang yang malas mengembangkan kreativitasnya, melakukan copy paste atas ucapan selamat lebaran dari orang lain, dirasa lebih praktis.
Apalagi, sekarang ada template ucapan yang berlaku secara one for all dan dikirim ke semua nomor kontak secara blast.
Sangat praktis memang, tapi justru di sinilah masalahnya. Sentuhan personal atas ucapan selamat lebaran yang dikirim atau yang diterima, terasa hambar alias tidak bernyawa.
Lalu, tulisan permohonan maaf lahir batin yang menyertai ucapan Selamat Idul Fitri pun, mungkin tak lebih dari sekadar basa basi.
Bukankah akan lebih menyentuh, bila ucapan pada setiap orang dibedakan tergantung intensitas kekeluargaan dan persahabatan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H