Nah, tentu juga sama menyenangkannya ketika pak pos menyampaikan kartu balasan yang dikirim kepada saya. Ada sentuhan personal dari tulisan tangan yang saya baca.
Sedangkan kartu lebaran dalam rangka relasi dinas, sentuhan personalnya boleh dikatakan minimalis.
Bayangkan, seorang pejabat main cari gampangnya saja dalam mengirimkan kartu lebaran bagi semua relasi bisnisnya.
Kalimat standar diketikkan oleh anak buah si pejabat di setiap kartu, lalu yang menandatangani pun bukan dari tangan si pejabat.
Biar tidak pegal, si pejabat membuat stempel tanda tangannya sendiri, dan anak buahnya ditugaskan untuk menyetempel.
Semua kisah keseruan mengirim dan menerima kartu lebaran seperti yang dipaparkan di atas, sekarang sudah tinggal kenangan, sebagai bahan cerita bagi anak cucu.
Di era media sosial saat ini, semuanya berubah menjadi lebih praktis, termasuk dalam menyampaikan selamat Idul Fitri.
Memang, yang namanya kartu lebaran tetap ada. Dengan kartu lebaran digital, foto si pengirim bisa dipajang di kartu tersebut.
Tapi, bagi banyak orang yang malas mengembangkan kreativitasnya, melakukan copy paste atas ucapan selamat lebaran dari orang lain, dirasa lebih praktis.
Apalagi, sekarang ada template ucapan yang berlaku secara one for all dan dikirim ke semua nomor kontak secara blast.
Sangat praktis memang, tapi justru di sinilah masalahnya. Sentuhan personal atas ucapan selamat lebaran yang dikirim atau yang diterima, terasa hambar alias tidak bernyawa.