Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

"Adu Domba" Antar Perantau, Cara Cepat Bangun Masjid

13 April 2023   05:58 Diperbarui: 13 April 2023   06:03 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena ada suatu keperluan, saya menelepon kakak saya yang berada di Payakumbuh, Sumbar. Ketika itu sudah sekitar pukul 10.00 malam dan saya sudah satu jam sebelumnya sampai di rumah.

Maksudnya, saya yang sebelumnya ikut salat tarawih di salah satu masjid dekat rumah saya di Jakarta Selatan, telah menyelesaikan salat tarawih sebelum pukul 21.00 WIB.

Saya tahu bahwa terdapat perbedaan waktu salat di Jakarta dan Payakumbuh, di mana di Payakumbuh terlambat setengah jam ketimbang Jakarta.

Artinya, saya menduga pukul 21.30 kakak saya seharusnya sudah selesai salat tarawih di masjid. Apalagi kebanyakan masjid di Payakumbuh salat tarawihnya 8 rakaat.

Ternyata, di pukul 22.00 pun kakak saya masih di masjid. Ini ketahuan setelah pukul 22.15 kakak menelpon saya dan menjelaskan kalau ia baru saja selesai salat.

Menurut kakak saya, ceramah agama sebelum salat tarawih terlalu lama, bisa sekitar 50 menit. Akibatnya, pelaksanaan salat tarawih tentu juga lebih lambat.

Saya teringat ketika masa remaja saya di Payakumbuh dan Padang, di banyak masjid ada semacam tradisi berburu dana dari jemaah selama bulan puasa.

Cara berburu dana dilakukan dengan memaksimalkan peran penceramah agama yang mendapat giliran tampil setiap malam.

Maka, bila ceramah agama lebih dari 30 menit, saya bisa maklum. Soalnya waktu yang digunakan untuk mengumpulkan dana juga lumayan lama

Di masjid-masjid yang aktif pengurusnya, untuk selama 30 hari pelaksanaan salat tarawih, sudah tersusun daftar penceramah setiap harinya di awal bulan puasa.

Rata-rata seorang penceramah kebagian 2 kali atau 3 kali tampil di masjid yang sama selama bulan puasa.

Pengurus masjid juga telah menyusun rencana, berapa infak selama Ramadan yang ditargetkan, yang disesuaikan dengan rencana perbaikan masjid atau program lainnya.

Nah, dalam materi ceramah, sengaja banyak dikupas yang terkait dengan besarnya pahala berinfak untuk pembangunan masjid, termasuk perluasan atau renovasi masjid.

Tak heran, seperti telah disinggung di atas, sebagian waktu ceramah dihabiskan dengan kalimat yang bersifat pancingan agar jemaah merogoh koceknya.

Para jemaah yang menyumbang akan dibacakan namanya serta disebutkan besar sumbangannya oleh Ustaz atau oleh pengurus.

Lalu, di papan tulis yang dipasang di dinding bagian depan masjid, tercantum besarnya penerimaan kas dari para jemaah setiap malamnya.

Pada 10 hari terakhir Ramadan, suasana tarawih semakin semarak karena biasanya banyak para perantau yang sudah mudik atau pulang kampung.

Nah, ada cara yang cukup ampuh dalam mencari dana, di mana Ustaz akan "mengadu domba" para perantau  agar berlomba-lomba berbuat kebaikan.

Maka, terjadilah adu besar menyumbang, umpamanya antara perantau dari Riau "melawan" perantau dari Jakarta dan sekitarnya.

Metode di atas tentu punya kelebihan, yakni keberhasilannya dalam menangguk dana yang relatif besar.

Tak heran, masjid di berbagai daerah di Sumbar, banyak yang bagus. Yang sudah bagus diperbagus lagi karena sumbangan relatif lancar mengalir.

Namun metode "adu domba" juga ada kelemahannya, yakni jadi kurang ramah pada para perantau yang tidak punya dana cukup.

Mungkin ada perantau yang sengaja tidak datang ke masjid di lingkungan yang saling mengenal antar jemaah dan pengurus, karena lagi tidak punya uang.

Kelemahan lain, menurut saya keikhlasan para penyumbang agaknya sedikit tercemar, karena terselip rasa bangga saat namanya beserta besar sumbangannya disebutkan Ustaz.

Di beberapa masjid di Jakarta yang pernah saya datangi di bulan puasa, kegiatan pengumpulan dana berlangsung secara sederhana saja.

Seperti di masjid dekat rumah saya, dana dikumpulkan hanya dengan menjalankan kotak amal dari jemaah ke jemaah lain saat setelah salat Isya sambil menunggu ceramah sebelum tarawih.

Tapi, kembali ke gaya mencari dana di Sumbar, sebetulnya sejak maraknya media sosial, semakin gampang membujuk perantau beramal.

Bahkan, tanpa pulang kampung pun, perantau banyak yang dapat pesan di grup media sosial dan tergerak untuk mentransfer sumbangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun