Pada lebaran tahun ini diperkirakan akan terjadi ledakan jumlah pemudik, yakni mereka yang berdomisili di kota-kota besar, tapi memilih berlebaran di daerah asalnya.
Soalnya, setelah 3 tahun dilanda pandemi, baru sekarang ketentuan perjalanan antar kota sudah dinormalkan kembali, persis seperti sebelum pandemi.
Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia (BI) membuka 5.066 titik lokasi penukaran uang tunai, seperti diberitakan harian Kompas (4/4/2023).
Untuk kebutuhan masyarakat selama Ramadan dan Idul Fitri tahun ini, BI menyiapkan uang tunai sebesar Rp 195 triliun.
Jumlah tersebut meningkat 8,22 persen dibandingkan lebaran tahun lalu, sejalan dengan meningkatnya geliat ekonomi dan jumlah pemudik.
Kenapa BI demikian banyak menyiapkan uang tunai? Karena tradisi membagi-bagi uang di hari lebaran dari para pemudik buat keponakan, anggota famili, dan sahabatnya, masih memakai uang tunai.
Tidak hanya pemudik, pada dasarnya semua orang yang sudah punya penghasilan, akan berbagi sesuai kemampuannya kepada yang tak punya penghasilan (anak-anak dan lansia).Â
Jadi, meskipun dalam berbelanja sekarang ini sudah semakin banyak yang menggunakan cara non tunai, tapi tidak demikian dengan bagi-bagi angpao.
Itupun yang dipakai bukan uang yang lecek, yang sudah dicorat-coret, atau yang sudah bolong bekas di-stapler.
Tradisi bagi-bagi itu lebih afdol pakai uang baru yang masih beraroma percetakan, yang artinya belum sempat berpindah tangan.
Tentu, uang baru yang paling laris diburu setiap menjelang lebaran adalah yang bernominal kecil (pecahan Rp 20.000 ke bawah).
Nominal besar juga laris. Tapi, mungkin tak banyak di antara kita yang memberikan THR dalam pecahan besar. Maksudnya, tak sebanyak mereka yang berbagi dalam nominal kecil.
Di atas telah disinggung bahwa BI menyiapkan 5.066 titik lokasi penukaran uang. Karena kantor BI relatif terbatas, seperti biasanya, BI akan menggandeng bank-bank umum.
Nah, jika masyarakat menukar uang di kantor bank, atau bisa juga petugas bank membuka counter di tempat tertentu, tak ada uang jasa penukaran yang dibebankan pada masyarakat.
Jadi, kalau kita menukarkan uang yang sudah lusuh sebanyak 5 lembar pecahan Rp 100.000, bisa ditukarkan dengan 100 lembar (1 gepok) uang pecahan Rp 5.000.
Karena tak ada ongkos penukaran itulah, membuat banyak sekali peminat penukaran uang di bank. Biasanya, antreannya lumayan panjang.
Bagi mereka yang tak mau antre, atau tempat tinggalnya jauh dari lokasi penukaran resmi, bisa menukar kepada penukar uang yang beroperasi di pinggir jalan yang dilewati banyak orang.
Tapi, pedagang atau penukar uang ala pinggir jalan ini memungut jasa penukaran. Misalnya kita menyerahkan uang Rp 500.000, namun uang baru yang kita dapatkan mungkin hanya Rp 450.000.
Artinya, si penyedia jasa memungut semacam fee sebesar 10 persen dari jumlah nominal uang yang ditukar.Â
Ya, anggap saja 10 persen itu sebagai upah si pedagang yang berjuang antre ke bank atau ke tempat jasa penukaran resmi.
Masalahnya, ada 2 pendapat tentang halal atau tidaknya seorang penukar uang memungut biaya seperti di atas.
Pertama, jika dilihat dari sudut uangnya, di mana uang merupakan objek yang dipertukarkan dengan kelebihan tertentu, hukumnya haram karena mengandung riba.
Kedua, jika yang jadi objek adalah jasa orang yang menyediakan uang, maka hukumnya mubah (boleh-boleh saja), sepanjang kedua belah pihak suka sama suka.
Pendapat di atas bersumber dari Pengurus MUI Lampung yang ditulis oleh Detik.com (25/4/2022).Â
Nah, sekarang tinggal keyakinan kita saja, mau menggunakan jasa penukar uang di pinggir jalan atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H