Beberapa teman jadi kaya raya karena punya puluhan petak kos-kosan, pintar bermain saham, atau punya beberapa bisnis yang dijalankan saudaranya.
Jelaslah, secara materi, meskipun kami start dengan pangkat dan gaji yang sama, puluhan tahun kemudian nasibnya sudah berbeda-beda secara signifikan.
Tak usah bicara puluhan tahun kemudian, beberapa teman saya baru 4 tahun bekerja sudah punya mobil. Ketika itu saya masih naik Metro Mini ke kantor.
Tapi, dari dulu saya tak punya rasa iri kepada teman yang berkaitan dengan kekayaan. Saya sudah bersyukur masih bisa menyisihkan gaji buat membantu adik-adik saya yang kuliah.
Soalnya, saya berasal dari keluarga yang latar belakang ekonominya tergolong pas-pasan. Bahkan, saya meraih S-1 lebih banyak terbantu karena dapat beasiswa dari pemerintah.
Namun, ketika saya gagal dalam seleksi tahap akhir untuk memperoleh pendidikan pascasarjana di AS, jujur saja, saya kecewa berat.
Alhamdulillah, pada kesempatan seleksi berikutnya saya berhasil lolos (seseorang dibolehkan ikut seleksi sebanyak 2 kali, asal usia belum 35 tahun).Â
Namun, dengan beberapa pertimbangan terkait keluarga dan kesehatan, saya memilih program di dalam negeri saja.
Keinginan saya untuk menginjakkan kaki di negara Paman Sam baru dikabulkan Allah beberapa tahun sebelum pensiun, meskipun untuk sekadar ikut pelatihan berdurasi 1 minggu.
Membahas soal jabatan sudah, pendidikan sudah, kekayaan sudah. Yang belum adalah soal keluarga. Ada satu teman saya, kebetulan wanita, yang hingga sekarang belum menikah.
Beberapa teman saya, punya anak-anak yang lebih sukses dari orang tuanya. Sebagian teman saya mengaku bahwa anak-anaknya masih jadi beban orang tua.