Masalahnya, diduga sebagian besar kaum rebahan, justru lebih mengeksplore sisi negatif dari penggunaan gawai, sehingga bisa dikatakan kebablasan.Â
Maksudnya, mereka jadi kecanduan dan seperti tidak bisa terlepas dari sisi negatif penggunaan gawai.
Contoh kebablasan dari sisi negatif tersebut, paling tidak seperti beberapa hal berikut ini.
Pertama, mereka yang tanpa sadar ikut menyebarkan konten hoaks atau berita bohong ke berbagai grup pertemanan di media sosial yang diikutinya.
Biasanya, hal itu berawal dari menerima postingan dari akun lain. Lalu, tanpa diteliti, konten yang ternyata bohong tersebut, langsung disebarkan.
Padahal, para ulama sering mengatakan bahwa mereka yang berpuasa, tapi masih berdusta atau berbohong, puasanya akan sia-sia.
Bukankah menyebarkan hoaks sama saja dengan berdusta, tapi dengan daya sebar yang berlipat-libat ketimbang berbohong pada satu orang saja?
Kedua, mereka yang larut dalam bergunjing, meskipun sekadar jadi pendengar. Katakanlah, ada seseorang yang menelpon dan menceritakan kejelekan orang lain.Â
Jika kita sebagai pendengar tidak berusaha mengakhiri pembicaraan atau mengubah alur pembicaraan, artinya kita terlibat dalam pergunjingan atau ghibah.
Atau, karena gawai sering digunakan untuk chatting secara tulisan ketimbang lisan, maka mengiyakan pernyataan lawan chatting yang bermuatan ghibah, artinya kita ikut berghibah.