Meskipun saya jarang menulis topik tentang akuntansi, tapi karena latar belakang pendidikan saya adalah ilmu akuntansi, saya tetap berusaha mengikuti perkembangan perakuntansian.
Saya kuliah di dekade 1980-an, di mana ketika itu akuntan masih terbilang langka karena hanya beberapa universitas saja yang diizinkan membuka program studi akuntansi.
Program studi tersebut melekat pada Fakultas Ekonomi, atau yang sekarang disebut dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).Â
Dengan demikian, mereka yang lulus dari FEB jurusan Akuntansi, ketika itu menulis gelar di belakang namanya dengan: SE, Ak.Â
Gelar Ak. (akuntan) dipasang setelah dengan bekal ijazah sarjana akuntasi mendaftar di Departemen Keuangan (sekarang disebut Kementerian Keuangan) untuk mendapatkan nomor register akuntan.
Kemudian, sejak dekade 1990-an, akuntan tidak bisa dibilang langka karena demikian banyak perguruan tinggi yang memproduksi sarjana akuntansi setiap tahunnya.
Namun demikian, mengingat pada dasarnya semua perusahaan dan juga semua instansi pemerintah membutuhkan akuntan, lulusan akuntansi relatif tidak lama menganggur.
Mereka yang gagal dalam seleksi di berbagai perusahaan atau untuk jadi PNS, masih punya peluang untuk bekerja di banyak Kantor Akuntan Publik (KAP).
Memang, untuk bisa menembus KAP big four dunia yang punya mitra di Indonesia (Ernst & Young, Deloitte, KPMG, dan PWC), sangat ketat proses seleksinya.
Tapi, banyak sekali KAP kecil berskala lokal yang menjadi tempat para akuntan yang baru lulus menimba pengalaman sebagai auditor independen.