Tapi, tak sedikit lagu dangdut dengan lirik vulgar yang gampang ditafsirkan berbau pornografi. Contohnya, ada lirik seperti ini: "bulu bertemu bulu, kulit bertemu kulit".
Dulu, marak pula lagu-lagu yang liriknya bernada kritik sosial, seperti lagu-lagu Leo Kristi dan berikutnya oleh Iwan Fals.
Gaya kritik sosial Leo Kristi pada era sekarang diikuti oleh Grup Silampukau. Coba simak penggalan salah satu lagu Silampukau berikut ini.
"Tahun kian kelabu/ makna gugur satu-satu dari seluruh pandanganku/ kota tumbuh kian asing kian tak peduli/ dan kita tersisih di dunia yang ngeri dan tak terpahami."
Setelah era Leo Kristi, lagu pop Indonesia didominasi oleh lagu berlirik cengeng yang kebanyakan diciptakan oleh Rinto Harahap.
Sebuah lagu yang sangat populer berjudul "Hati yang Luka", berkisah tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dibawakan oleh Betharia Sonata.
Cuplikan lirik "Hati yang Luka" ada yang berbunyi; "pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku".
Saking jengkelnya Harmoko sebagai Menteri Penerangan (sekarang disebut Menkominfo) ketika itu, hingga ia meminta "stop lagu-lagu cengeng".
Begitulah, ternyata peranan lirik dalam sebuah lagu cukup signifikan. Lirik yang mengandung protes, bisa menggerakkan massa, dan yang cengeng dikhawatirkan membuat rakyat bermental lembek.
Sedangkan lagu berlirik patriotik tentu akan menggugah semangat mencintai tanah air dan menumbuhkan rasa persatuan.
Grup musik "Cokelat" terkenal dengan beberapa lagu patriotik, atau kalau di era 1980-an contohnya dilakukan oleh penyanyi Gombloh.