Pengertian secara umum tentang koperasi selama ini adalah suatu unit usaha yang dijalankan "dari anggota untuk anggota". Artinya, kesejahteraan anggota menjadi tujuan utama.
Namun, dalam perkembangannya akhir-akhir ini, ditemukan sejumlah usaha yang "berlabel" koperasi, padahal sebetulnya tidak menjalankan prinsip yang lazim dalam koperasi.
Koperasi hanya menjadi wadah bagi kemakmuran segelintir orang, tapi dengan menyengsarakan anggotanya. Makanya, tak sedikit koperasi yang mengalami kasus gagal bayar kepada anggotanya.
Bahkan, yang lebih parah, diduga ada koperasi yang menerapkan Skema Ponzi. Maksudnya, hak anggota lama bisa dibayar jika ada setoran dari anggota baru.
Ketika anggota baru sudah tidak ada lagi, pembayaran hak anggota lama pun tersendat dan terjadilah gagal bayar itu tadi.
Nah, tidak hanya itu, baru-baru ini terungkap modus baru yang sangat mengagetkan dan mencoreng perkoperasian di negara kita.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya dugaan praktik tindak pidana pencucian uang di 12 Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
Nilai uang yang dicuci tidak tanggung-tanggung, totalnya Rp 500 triliun. Salah satunya di KSP Indosurya (Kompas, 15/2/2023).
Dalam hal ini, dana nasabah dipakai dan ditransaksikan ke perusahaan yang terafiliasi dengan Indosurya (Bisnis.com, 14/2/2023)
Pencucian uang dapat diartikan sebagai upaya menyamarkan atau menyembunyikan dana yang diperoleh dari hasil tindak kejahatan, termasuk yang berasal dari korupsi.
Dengan pencucian uang, maka uang yang ilegal tersebut seolah-olah sudah "bersih" atau seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal.
Dahulu, sebelum ada PPATK yang didirikan pada 2002, bank menjadi tempat yang lazim dipilih untuk menyimpan uang oleh para koruptor atau penjahat lainnya.
Tentu, si koruptor tidak membuka rekening atas namanya, tapi bisa saja atas nama keluarga, kerabat, atau orang lain yang dipercayainya.
Namun, sekarang relatif sulit mencuci uang di bank, karena terhadap transaksi di atas jumlah tertentu, bank wajib meminta nasabah menjelaskan asal usul uangnya dan dilaporkan ke PPATK.
Barangkali karena itulah, koperasi menjadi sasaran baru. Mungkin dikira belum terjangkau oleh PPATK.
Padahal, seperti yang diberitakan di atas, PPATK mampu mengendus praktik pencucian uang melalui lembaga keuangan berlabel koperasi.
Sayangnya, pemberitaan di media massa belum menjelaskan bagimana modus pencucian uang yang terjadi di koperasi secara lebih rinci.
Hanya saja, dari laman ppatk.go.id, disebutkan bahwa sekarang sedang dilakukan join audit antara Kementerian Koperasi dan UKM dan PPATK.
Tentu saja, kita berharap pada masyarakat untuk tidak terlalu khawatir untuk menjadi anggota koperasi yang aktif.
Tapi, masyarakat perlu selektif dalam memilih koperasi yang betul-betul murni menjalankan prinsip koperasi.Â
Artinya, di koperasi tersebut, yang berkuasa adalah para anggota. Pengurus pun dipilih oleh anggota dan mempertanggungjawabkan pekerjaannya pada forum Rapat Anggota Tahunan (RAT).
Sebetulnya, ada banyak koperasi yang baik, tapi dalam pemberitaan media massa, tenggelam oleh koperasi yang berkasus.
Terhadap koperasi yang berkasus, diharapkan aparat penegak hukum harus segera bertindak. Selanjutnya, harus diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pengawasan dari pemerintah atau pihak lain terkait harus lebih intensif lagi. Idealnya, pengawasan lebih bersifat preventif, bukan sekadar menangkap setelah kasus terjadi.
Mereka yang berniat menjadi anggota suatu koperasi simpan pinjam, perlu waspada bila ada tawaran yang menggiurkan.Â
Jangan sampai tergoda menyetor dana kepada lembaga yang sebetulnya mengelola investasi bodong, namun berkedok koperasi simpan pinjam.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H