Namun, sebagai informasi saja, di sebuah perusahaan kelas menengah ke atas yang berskala nasional, seorang CEO bergaji sekitar Rp 300 juta sebulan, bukan hal yang langka.
Yang lebih membuat orang banyak terheran-heran bukan soal gaji itu. Melainkan, besarnya tantiem tahunan, yakni bagian laba perusahaan yang dijadikan bonus bagi direksi dan komisaris.
Karena labanya sudah dalam hitungan triliunan rupiah, maka dengan tantiem sebesar Rp 10 miliar, sudah biasa bagi seorang anggota direksi.
Memang, bagian laba yang terbesar dibagikan sebagai dividen (hak pemegang saham atas laba perusahaan), meskipun juga ada sebagian laba yang ditahan sebagai modal perusahaan.
Nah, bila seorang tenaga kontrak hanya digaji sebesar upah minimum yang sekitar Rp 4 juta per bulan, silakan hitung sendiri, berapa perbandingan gaji tertinggi dan terendah.
Bagi perusahan yang sudah berstatus "terbuka" (biasa disingkat dengan "Tbk" yang dicantumkan di belakang nama perusahaan), mulai ada transparansi.
Perusahaan terbuka artinya yang sahamnya bisa dimiliki publik melalui bursa saham, di Indonesia disebut dengan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Nah, para pemegang saham, meski hanya punya 1 lot (100 lembar) yang bisa jadi nilai totalnya tidak sampai Rp 1 juta, berhak mendapatkan laporan keuangan lengkap perusahaan.
Di laporan lengkap yang disebut annual report, terdapat uraian mengenai perbandingan gaji tertinggi dan yang terendah.
Masalahnya, jumlah perusahaan yang sudah go public tersebut sangat sedikit dibanding semua perusahaan yang ada di negara kita.