Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jadi Profesor Berkat Joki, Runtuhnya Benteng Pertahanan Kebenaran

18 Februari 2023   04:46 Diperbarui: 18 Februari 2023   04:46 2807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. Jobplanet, dimuat Kompas.com

Harian Kompas (10/2/2023) menurunkan hasil liputan investigasinya di seputar perjokian di dunia akademik. Terungkaplah bahwa banyak calon guru besar yang diduga menempuh jalan yang salah.

Sebelum membahas lebih jauh soal joki ilmiah, perlu diketahui apa saja persyaratan bagi seorang dosen untuk mendapatkan gelar profesor (guru besar) sesuai aturan yang berlaku di Indonesia.

Pertama, dosen yang bersangkutan sudah menyelesaikan pendidikan S3 (doktor) atau yang sederajat.

Kedua, mengajukan diri minimal 3 tahun setelah mendapatkan ijazah S3. Permohonan ditujukan kepada Kemendikbudristek.

Ketiga, mempublikasikan karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi tinggi, yang terindeks di dalam Scopus. 

Inilah persyaratan yang paling sulit dan karenanya masalah perjokian muncul pada tahap ini.

Keempat, berpengalaman sebagai dosen minimal selama 10 tahun. Ini relatif tidak sulit dan makanya sekarang banyak dosen yang masih berusia di awal 40-an tahun sudah jadi profesor.

Semua persyaratan di atas bersifat umum. Selain itu masih ada syarat pemenuhan angka kredit dan juga memiliki kinerja, integritas, etika, tata krama, serta tanggung jawab.

Secara umum, hirarki karier seorang dosen dimulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.

Tapi, bila karya ilmiahnya lebih banyak, seorang dosen dimungkinkan untuk loncat dari lektor ke guru besar, jika sudah menjadi lektor minimal 2 tahun.

Nah, sekarang tentang calon guru besar yang tidak mengikuti jalan yang benar, pada umumnya karena kesulitan dalam mempublikasikan karya ilmiah.

Kesulitan itu bisa berarti tidak punya kemampuan yang memadai, atau karena terlalu sibuk sehingga tak punya waktu cukup.

Di sinilah muncul permainan dengan melibatkan satu tim khusus yang melibatkan dosen muda dan mahasiswa. Tim inilah yang mengerjakan penelitian untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Namun, yang ditulis sebagai peneliti utama adalah dosen senior, sehingga bisa dipakai dalam rangka kenaikan pangkat atau pencalonan guru besar si dosen senior.

Tentu ada bayaran dari si dosen senior kepada tim peneliti itu tadi, yang telah disepakati sebelumnya.

Gelar profesor memang menjadi idaman semua dosen, karena bisa dikatakan sebagai puncak pencapaian kariernya di jalur fungsional.

Apalagi, sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah memberikan tunjangan yang relatif besar bagi setiap guru besar.

Sehingga, lengkap sudah kebanggaan seorang guru besar, karena diakui kepakaran sesuai disiplin ilmunya dan juga dihargai secara finansial.

Tapi, untuk mencapai jenjang tertinggi secara akademik itu tentu tidak hanya menggambarkan sisi intelektual saja. Seharusnya juga menggambarkan integritasnya yang tinggi.

Maka, bila dunia akademis dicemari oleh praktik perjokian karya ilmiah, jelas sangat mencoreng reputasi perguruan tinggi.

Kelakuan guru besar yang diperoleh secara tidak benar seperti itu, tentu akan diketahui oleh para mahasiswa di kampus tersebut.

Nah, sesuai kata pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari", maka mahasiswa yang lagi berjuang untuk menyelesaikan S1, tak akan malu untuk mengikuti cara yang sama.

Jangan heran, bila para sarjana begitu memasuki dunia kerja, cepat tergoda untuk melakukan korupsi. 

Soalnya, sejak mereka duduk di bangku kuliah, atau bahkan mungkin sejak masih di sekolah menengah, sudah terpengaruh dengan berbagai tindakan kecurangan.

Padahal, ketika berbagai lembaga lain tercemar, lembaga pendidikan seharusnya jangan ikut-ikutan. Lembaga pendidikan bisa dikatakan sebagai benteng penjaga kebenaran dan kejujuran.

Kita justru berharap, sebagai lembaga yang menyiapkan para pewaris masa depan bangsa, dunia pendidikan mampu memberi contoh, memberi teladan yang baik.

Joki ilmiah, apapun dalihnya, mulai dari yang receh dengan berkedok jasa pengetikan atau bimbingan belajar, merupakan contoh jelek.

Tampaknya, mental menerabas atau mental instan tanpa melewati proses yang seharusnya, telah jauh merasuki dunia pendidikan.

Termasuk juga di dalamya soal gratifikasi yang diberikan kepada oknum rektor, agar seorang calon mahasiswa bisa diterima kuliah di kampus yang diincarnya.

Sulit untuk mengatasi terjadinya berbagai kecurangan di dunia pendidikan, selain dengan menggugah kesadaran semua elemen yang terkait.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun