Yang tak dibolehkan menurut standar akuntansi adalah suatu perusahaan yang menyembunyikan laba (agar sedikit bayar pajak) atau menyembunyikan kerugian (agar dinilai layak dipercaya).
Tapi, ceritanya jadi lain dalam perusahaan yang mengelola klub sepak bola. Membakar uang berarti mengerek harga pemain bintang jadi naik berlipat-lipat.
Inilah yang dianggap merusak harga pasar para pemain. Yang diuntungkan hanya pemain bintang dan para brokernya.
Akibat negatifnya, kesenjangan antar klub kaya dan klub biasa-biasa saja akan semakin terlihat.
Prestasi di lapangan hijau akhirnya ditentukan oleh kekuatan dana, dan ini dianggap mencederai sportivitas.
Namun, jika dipikir-pikir, tentu ada juga sisi positifnya. Semua pemain akan tertantang meningkatkan kemampuannya agar harganya naik drastis.
Bahkan, pemain-pemain di Indonesia pun punya impian agar bisa main di berbagai klub Eropa.
Bukannya tidak ada pemain Indonesia yang main di sana, tapi sejauh ini belum ada yang dikontrak klub kasta tertinggi di suatu negara yang bagus kompetisi sepak bolanya.
Jadi, intinya, klub bola di Eropa tidak boleh melakukan strategi bakar uang. Meskipun, sejumlah investor Timur Tengah sebetulnya berani rugi.
Bagaimanapun juga, klub bola tak bisa menghindarkan diri dari sistem kapitalisme, karena uang sangat berkuasa dalam sepak bola.Â
Dengan uang, semua pemain bintang bisa dikumpulkan sebuah klub dengan harga berapapun.