Fair play dalam sepak bola ternyata tidak hanya berlaku di lapangan hijau, tapi juga di atas kertas yang disebut dengan Financial Fair Play (FFP).
Adalah Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) yang membuat ketentuan FFP. Tujuannya, agar klub-klub yang dimiliki oleh orang super kaya (crazy rich) tidak jor-joran mengguyur dana ke klubnya.
Jadi, klub-klub di Eropa tidak boleh membelanjakan lebih banyak dibandingkan dana yang mereka terima dari berbagai sumber, seperti sponsorship, penjualan tiket pertandingan, dan sebagainya.
UEFA beralasan agar eksistensi klub bisa stabil dilihat dari sisi tanggung jawab keuangannya.
Sebetulnya, strategi sengaja merugi dalam beberapa tahun pertama beroperasinya suatu perusahaan, merupakan hal yang biasa dalam suatu industri.
Bahkan, banyak perusahaan startup di bidang teknologi yang sengaja melakukan strategi "bakar uang", demi mendapatkan banyak pelanggan atau pengguna aplikasinya.
Tapi, membandingkan perusahaan teknologi dengan klub sepak bola, tentu saja tidak apple to apple.
Jika perusahaan berbasis teknologi membakar uang, yang diuntungkan adalah konsumen, sehingga tak ada ketentuan yang mengatakan perusahaan tidak boleh merugi.
Silakan saja merugi, sampai seberapa kuat pemegang saham atau investor dari perusahaan berbasis teknologi itu membakar uangnya.
Secara akuntansi pun, saat laporan keuangan perusahaan startup diaudit oleh akuntan publik, tak akan mendiskualifikasi laporan hanya karena perusahaan merugi.
Sepanjang perusahaan sudah mencatat dan melaporkan semua transaksi dengan lengkap dan akurat, artinya angka kerugiannya sudah benar, ya tidak masalah.
Yang tak dibolehkan menurut standar akuntansi adalah suatu perusahaan yang menyembunyikan laba (agar sedikit bayar pajak) atau menyembunyikan kerugian (agar dinilai layak dipercaya).
Tapi, ceritanya jadi lain dalam perusahaan yang mengelola klub sepak bola. Membakar uang berarti mengerek harga pemain bintang jadi naik berlipat-lipat.
Inilah yang dianggap merusak harga pasar para pemain. Yang diuntungkan hanya pemain bintang dan para brokernya.
Akibat negatifnya, kesenjangan antar klub kaya dan klub biasa-biasa saja akan semakin terlihat.
Prestasi di lapangan hijau akhirnya ditentukan oleh kekuatan dana, dan ini dianggap mencederai sportivitas.
Namun, jika dipikir-pikir, tentu ada juga sisi positifnya. Semua pemain akan tertantang meningkatkan kemampuannya agar harganya naik drastis.
Bahkan, pemain-pemain di Indonesia pun punya impian agar bisa main di berbagai klub Eropa.
Bukannya tidak ada pemain Indonesia yang main di sana, tapi sejauh ini belum ada yang dikontrak klub kasta tertinggi di suatu negara yang bagus kompetisi sepak bolanya.
Jadi, intinya, klub bola di Eropa tidak boleh melakukan strategi bakar uang. Meskipun, sejumlah investor Timur Tengah sebetulnya berani rugi.
Bagaimanapun juga, klub bola tak bisa menghindarkan diri dari sistem kapitalisme, karena uang sangat berkuasa dalam sepak bola.Â
Dengan uang, semua pemain bintang bisa dikumpulkan sebuah klub dengan harga berapapun.
Memang, dengan adanya ketentuan FFP, pembelian besar-besaran yang dilakukan klub-klub milik "sultan" seperti dibatasi.
Tapi, seperti juga keahlian sejumlah oknum akuntan dalam merekayasa laporan keuangan, FFP pun diduga bisa diakali.
Apa yang terjadi pada klub Manchester City, menarik untuk disimak. 2,5 tahun lalu, klub tersebut lolos dari jeratan hukum yang telah dijatuhkan sebelumnya, karena menang di tingkat banding.
Namun sekarang, Premier League kembali mendakwa Manchester City dengan sejumlah pelanggaran FFP. Apa hukuman yang harus diterimanya, masih perlu kita tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H