Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemberantasan Buta Huruf dan Sekolah Kolong Jembatan

10 Februari 2023   06:14 Diperbarui: 10 Februari 2023   13:13 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu, karena bagian punggung saya terasa sangat pegal, saya pergi ke kediaman seorang tukang urut yang praktik tak jauh dari rumah saya.

Dulu saya punya langganan tukang urut, namun pada 2021 lalu beliau meninggal dunia karena terkena Covid-19.

Kebetulan, saat jalan santai di sekitar tempat tinggal saya, ada papan nama bertuliskan "tukung urut/pijat" di depan sebuah rumah sederhana.

Maka, setelah cukup lama tak pernah pergi ke tukang urut, saya pun kembali menikmati sensasi diurut, sehingga badan terasa lebih nyaman.

Tukang urut tersebut seorang laki-laki yang katanya berusia 68 tahun dan telah cukup lama jadi tukang urut. Namun, ia baru pindah ke lokasi sekitar rumah saya itu.

Pantas saja, dulu saya tak menemukan ada papan nama tukang urut sewaktu jalan kaki di sekitar rumah saya.

Memang, dibandingkan tukang urut langganan saya dulu, yang sekarang tidak sehebat itu. Tapi, daripada tidak ada, ya lumayanlah.

Namun, bukan soal urut mengurut yang ingin saya bahas. Saya lebih tertarik menuliskan, bahwa tukang urut itu tidak tahu uang kertas nominal berapa yang saya berikan kepadanya.

Ia mengaku buta huruf dan kebetulan uang yang saya berikan seri terbaru yang belum banyak beredar. Mungkin ia baru pertama kali menerima uang seri baru itu.

Dalam hati saya berkata, bila di ibu kota Jakarta saja masih ada orang yang buta huruf, tentu di daerah-daerah kondisinya bisa lebih parah.

Saya masih bisa memaklumi orang lanjut usia seperti tukang urut di atas tergolong buta huruf. 

Maklum saja, ketika beliau masih kecil sekitar 60 tahun lalu, belum ada yang namanya "Program Wajib Belajar" yang dicanangkan pemerintah.

Meskipun demikian, tanpa program wajib belajar pun, pada dasarnya upaya pemberantasan buta huruf sudah dilaksanakan pemerintah semenjak lahirnya Republik Indonesia.

Secara resmi, Presiden Soekarno mencanangkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) pada 14 Maret 1948. Hal itu tentu berkesinambungan hingga sekarang.

Hanya saja, jika mengacu pada data di laman kemendikbud.go.id rilisan 12 Desember 2020, pemberantasan buta aksara atau buta huruf masih menyisakan 1,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Artinya, dengan jumlah penduduk sebanyak 273,5 juta orang per akhir 2020, maka terdapat 3,2 juta orang Indonesia yang buta huruf.

Meskipun data di atas tidak merinci berapa jumlah buta huruf pada kelompok usia anak-anak atau remaja, tapi diperkirakan masih cukup banyak. 

Bila program wajib belajar betul-betul berhasil sepenuhnya, tentu tak ada lagi warga yang buta huruf. 

Bisa jadi masih banyak anak-anak yang karena faktor ekonomi hanya belajar hingga kelas 1 atau 2 SD, dan setelah itu drop out.

Mungkin karena sudah bisa membaca, anak-anak itu lalu diajak bapaknya ikut memulung, mengemis, dan sebagainya.

Karena di rumah (lebih tepatnya gubuk semi permanen) tidak ada bahan bacaaan, orang tua juga tidak membaca apapun, si anak yang tadinya sudah bisa membaca, akan hilang lagi kemampuannya.

Padahal, kemampuan membaca itu butuh pengulangan, sehingga menjadi kebiasaan. Kalau tidak, kemampuan itu akan lenyap lagi.

Ternyata program wajib belajar belum sepenuhnya berhasil, terutama dalam menjangkau warga kelas bawah.

Maka, pemerintah seharusnya berterima kasih pada sejumlah pihak yang menghadirkan pendidikan alternatif bagi kaum marjinal.

Contohnya, sekolah yang sangat sederhana yang mengambil tempat di bawah kolong jembatan.

Sekolah di kolong jembatan itu ditemui di sejumlah kota besar di tanah air. Di Jakarta, antara lain terdapat di sebelah timur Universitas Negeri Jakarta dan kolong jembatan Lodan, Pademangan.

Di tengah gencarnya program belajar yang sudah menggunakan teknologi canggih, jangan sampai perhatian terhadap program wajib belajar menjadi terabaikan.

Ironis memang, ketika anak-anak kelas menengah ke atas menikmati program "Merdeka Belajar" dari para guru dengan label "Guru Penggerak", masih ada anak-anak yang tak tersentuh pendidikan.

Semoga ke depan, berbagai pihak yang terlibat, baik instansi pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, berhasil menekan angka buta huruf menjadi di bawah 1 persen dari total penduduk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun