Sekarang, rasionya dibalik, yakni 70 persen menjadi beban jemaah dan 30 persen dari dana manfaat BPKH.
Lebih lanjut, alasan pemerintah adalah agar dana manfaat BPKH tidak habis tersedot untuk jemaah sekarang, yang bisa merugikan jemaah yang berangkat beberapa tahun mendatang.
Nah, di sinilah diperlukan transparansi atas laporan keuangan BPKH yang bisa diakses semua jemaah.
Ingat, BPKH sekarang juga jadi pemegang saham pengendali Bank Muamalat, bank syariah yang jadi pionir di Indonesia, tapi sarat masalah yang membuat bank tersebut didera kerugian.
Perlu diketahui, jemaah Indonesia didominasi oleh warga kelas menengah ke bawah yang mengumpulkan dana sedikit demi sedikit selama puluhan tahun.
Bisakah masing-masing jamaah menelusuri berapa saldo tabungannya setiap saat termasuk nilai manfaatnya?
Kalau hal itu bisa disediakan, alasan jemaah sekarang "memakan" hak jemaah tahun-tahun mendatang bisa terhindarkan, karena semuanya punya saldo individu.
Saldo individu itu berasal dari setoran jemaah ditambah hasil pengembangan dana (katakanlah semacam bunga di bank konvensional, tapi yang sesuai ketentuan syariah).
Bila memang jemaah sekarang memakan hak jemaah yang akan datang, ini sangat berbahaya, dan bisa-bisa dinilai mirip skema Ponzi.
Memastikan bahwa isu Skema Ponzi sama sekali tidak ada dalam pengelolaan yang dilakukan BPKH, sangat penting.
Skema Ponzi adalah skema yang biasanya dipakai pengelola investasi bodong, yakni memberi imbalan bagi investor lama yang diambilkan dari setoran investor baru.