Berita dari salah satu stasiun televisi pagi Minggu (25/12/2022), tentang oknum dosen yang melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi saat bimbingan skripsi, menarik perhatian saya.
Seingat saya, modus memanfaatkan bimbingan skripsi untuk melampiaskan hasrat pelecehan seksual oleh seorang dosen, telah lumayan sering terjadi di berbagai kampus di tanah air.
Tapi, biar lebih akurat, segera saya bertanya ke Mbah Google, dengan mengetikkan pelecehan seksual saat bimbingan skripsi.
Benar saja, Tempo.co (3/11/2022) memberitakan pernyataan Wakil Ketua Komisi Nasional Perempuan Olivia Ch Salampessy tentang kekerasan seksual di kampus.
Menurut Olivia, ada 35 pengaduan dalam kasus kekerasan seksual dan diskriminasi di perguruan tinggi pada kurun 2015-2021.
Kasus-kasus tersebut pada umumnya memanfaatkan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi, dan saat penelitian dengan mengajak korban ke luar kota.
Berikutnya, secara terpisah, beberapa media daring memberitakan kasus pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsi yang terjadi di sejumlah kampus.
Kasus yang berlanjut dengan pelaporan ke pihak kepolisian antara lain terjadi di Universitas Sriwijaya Palembang dan Universitas Riau Pekanbaru.
Ada juga kasus di Universitas Negeri Surabaya, di mana dosen yang jadi pelaku dijatuhkan hukuman penonaktifan oleh rektor setempat.
Di antara beberapa peristiwa di atas, yang cukup lama menghebohkan media adalah yang terjadi di Universitas Riau.
Namun, dalam kasus yang memicu aksi demo mahasiswa itu, Dekan Fisipol Unri yang dilaporkan kepada aparat penegak hukum sebagai pelaku, akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim.
Adapun berita televisi yang saya singgung di awal tulisan ini, terjadi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (FIB Unand) Padang.
Kasus di Unand menimpa 8 orang mahasiswi yang dilakukan seorang oknum dosen FIB. Satu di antara para korban mengalami trauma berat dan tak masuk kampus lagi.
Terhadap kasus tersebut, para korban telah melaporkan ke pihak internal Unand, tapi belum melaporkan ke pihak kepolisian.
Pihak Unand hampir merampungkan investigasinya yang mengarah pada pelanggaran berat dengan sanksi pemberhentian tetap untuk oknum dosen.
Bagi semua mahasiswi yang belum sampai pada tahap bimbingan skripsi, apa hikmah dari berbagai kasus tersebut di atas?
Bimbingan skripsi merupakan hal yang penting dalam rangka merampungkan studi agar seorang mahasiswa berhak menyandang titel sarjana.
Mengingat telah demikian sering terjadi pelecehan seksual terhadap mahasiswi yang tengah bimbungan skripsi, tak ada jalan lain, mahasiswi perlu lebih berhati-hati.
Jika bimbingan berlangsung di ruang yang sepi, menjaga jarak secara fisik dan mewaspadai gerak gerik dosen pembimbing, perlu dilakukan.
Kalau dosen mengunci pintu ruangan bimbingan, lebih baik mahasiswi memberi alasan ada sesuatu dan minta menunda bimbingan.Â
Atau, si mahasiswi dengan sopan dan meminta maaf terlebih dahulu, memohon dosen untuk tidak mengunci ruangan.Â
Tak ada salahnya untuk berjaga-jaga, mahasiswi membawa alat yang bisa memberi tanda untuk minta pertolongan, misalnya alat yang mengeluarkan bunyi alarm.
Berteriak sekuat tenaga atau memberontak hebat juga perlu dilakukan jika dosen pembimbing terlihat memaksakan kehendak.
Di pihak lain, yang terpenting adalah bagaimana agar semua dosen menyadari perlunya menjaga integritas.Â
Apa gunanya sederet gelar akademis jika mengendalikan nafsu birahi saja tak mampu.
Semoga di masa mendatang, kasus yang mencoreng perguruan tinggi seperti di atas, tidak pernah terjadi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H