Bahkan, pejabat yang terkena OTT pun ada yang tidak memperlihatkan wajah sedih, malah tersenyum kepada para jurnalis.
Nah, kalau begitu, bukankah sebaiknya OTT makin ditingkatkan dan hukuman terhadap koruptor makin diperberat?
Lalu, pengambilalihan aset dari para koruptor untuk jadi aset negara, harus lebih digencarkan. Istilahnya, koruptor itu dimiskinkan.
Untuk masa sekarang, berhubung belum memungkinkan menciptakan kondisi zero corruption, maka OTT tetap perlu.
Kondisi paling ideal memang tidak ada lagi korupsi berkat sistem pencegahan yang sangat baik dan akhlak para aparat negara yang juga sangat baik, tidak punya niat untuk korupsi.
Tapi, mohon maaf, kondisi ideal tersebut terkesan seperti di awang-awang saja. Bisa menurunkan korupsi saja, sudah bisa disebut sebagai keberhasilan.
Jadi, OTT tetap dinilai bagus, dalam arti berhasil meringkus koruptor, ketimbang tetap ada korupsi tapi tidak terdeteksi oleh sistem atau oleh KPK.
Ingat, KPK itu Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan Komisi Pencegahan Korupsi, meskipun Ketua KPK sekarang Firli Bahuri ingin meningkatkan usaha pencegahan.
Tak ada yang keliru bila KPK memperbesar porsi tugasnya untuk sosialisasi pencegahan korupsi.
Namun, tugas utama KPK masih tetap untuk penindakan, memburu para pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi.
Lagipula, KPK dibentuk sebagai respon kurang berjalannya pemberantasan korupsi yang dilakukan institusi yang sudah ada selama ini.