Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aneh Jika Ada yang Bertanya Apakah di Sumbar Ada Gereja

15 Desember 2022   04:40 Diperbarui: 15 Desember 2022   04:42 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo dan slogan Sumatera Barat|dok. beritaminang.com, dimuat posmetropadang.co.id

"Tuah Sakato" secara harfiah bisa diartikan kesaktian (tuah) dari sebuah keputusan yang diambil berdasarkan mufakat bersama (sakato atau satu kata).

Itulah slogan daerah Sumatera Barat (Sumbar) yang terpampang pada bagian bawah logo daerah seperti yang terlihat pada foto di atas.

Logo tersebut terbingkai dalam perisai bersegi lima yang artinya Sumbar bagian dari NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Ada rumah gadang bergonjong empat sebagai lambang tempat bermufakat dan ada atap masjid bertingkat tiga sebagai lambang Islam sebagai agama yang dianut masyarakat Minang.

Gabungan rumah adat dan rumah ibadah tersebut sesuai dengan filosofi Minang: "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah".

Masih banyak arti dari berbagi unsur dalam logo di atas yang tidak akan dirinci pada artikel yang singkat ini.

Tapi, intinya, dengan slogan Tuah Sakato, jelaslah bahwa masyarakat Sumbar atau etnis Minang sebagai etnis dominan sangat mendukung praktik demokrasi.

Bukankah keputusan secara musyawarah, dengan memintakan pendapat orang banyak, merupakan esensi dari sistem demokrasi?

Jangan heran bila urang awak tak punya budaya feodal, tidak ada penghormatan yang berlebihan kepada pemimpin atau atasan.

Jika orang Minang bersalaman dengan pimpinan, tubuhnya tidaklah membungkuk, tapi dalam posisi yang relatif setara.

Filosofi Minang mengajarkan bahwa pemimpin hanya ditinggikan satu ranting dan didahulukan satu langkah. Artinya, tidaklah berjarak antara atasan dan bawahan.

Tapi, dalam perkembangannya, ada citra yang kurang tepat di mata orang luar Sumbar terhadap Sumbar, terutama bagi mereka yang belum pernah berkunjung langsung ke Ranah Minang.

Meskipun kebenarannya perlu diteliti lebih lanjut, tapi mungkin ada semacam persepsi bahwa masyarakat Sumbar bersikap kurang terbuka atau kurang toleran.

Makanya, ada saja yang bertanya apakah ada gereja, klenteng, atau rumah ibadah agama selain Islam lainnya di Sumbar.

Lebih tidak enak lagi, ada juga yang berpendapat orang Minang sebagai kurang mendukung Pancasila yang sudah menjadi falsafah bangsa Indonesia.

Mungkin, sekali lagi mungkin, sejak politik nasional terbelah oleh politik identitas, warga Sumbar pun terkena getahnya.

Soalnya, Sumbar merupakan provinsi di mana pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan berlanjut Jokowi-Ma'ruf Amin, megalami kekalahan telak.

Padahal, sejak dulu sudah ada rumah ibadah agama selain Islam berdiri di Sumbar dan sejauh ini aman-aman saja.

Saudara-saudara keturunan Tionghoa dan perantau bersuku Jawa, Batak, dan sebagainya, hidup harmonis bersama warga asli Minang.

Bahkan, ada satu kabupaten di Sumbar yang penduduknya mayoritas bukan orang Minang dan juga bukan muslim.

Kabupaten dimaksud adalah Kepulauan Mentawai yang sekarang mulai berkembang karena menjadi destinasi wisata dan salah satu lokasi surfing terbaik di dunia.

Kembali ke soal slogan daerah, apakah dengan adanya persepsi yang kurang tepat tersebut, Tuah Sakato perlu di-rebranding?

Rebranding adalah strategi pemasaran perusahaan di mana nama, simbol, logo, slogan, konsep, atau kombinasi baru diciptakan untuk merek produk yang sudah mapan.

Tujuannya adalah untuk mengembangkan identitas baru atau citra baru yang berbeda di benak konsumen atau calon konsumen, investor, dan pemangku kepentingan lainnya.

Jelaslah, rebranding adalah hal biasa untuk sebuah perusahaan. Tapi, untuk pemerintah daerah yang bukanlah sebuah perusahaan, apakah rebranding relevan?

Mengingat sekarang ini instansi pemerintah mulai menerapkan pola komunikasi yang lebih efektif, maka soal membangun citra, menjadi penting.

Hanya saja, untuk kasus Sumbar, rasanya tak perlu berganti logo slogan daerah. Tapi, agaknya perlu pemaknaan ulang dan disosialisasikan secara agresif. 

Pemaknaan ulang tersebut antara lain menekankan Sumbar yang lebih terbuka dan toleran, tanpa meninggalkan adat istiadat dan ajaran agama.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun