Tapi, dalam perkembangannya, ada citra yang kurang tepat di mata orang luar Sumbar terhadap Sumbar, terutama bagi mereka yang belum pernah berkunjung langsung ke Ranah Minang.
Meskipun kebenarannya perlu diteliti lebih lanjut, tapi mungkin ada semacam persepsi bahwa masyarakat Sumbar bersikap kurang terbuka atau kurang toleran.
Makanya, ada saja yang bertanya apakah ada gereja, klenteng, atau rumah ibadah agama selain Islam lainnya di Sumbar.
Lebih tidak enak lagi, ada juga yang berpendapat orang Minang sebagai kurang mendukung Pancasila yang sudah menjadi falsafah bangsa Indonesia.
Mungkin, sekali lagi mungkin, sejak politik nasional terbelah oleh politik identitas, warga Sumbar pun terkena getahnya.
Soalnya, Sumbar merupakan provinsi di mana pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dan berlanjut Jokowi-Ma'ruf Amin, megalami kekalahan telak.
Padahal, sejak dulu sudah ada rumah ibadah agama selain Islam berdiri di Sumbar dan sejauh ini aman-aman saja.
Saudara-saudara keturunan Tionghoa dan perantau bersuku Jawa, Batak, dan sebagainya, hidup harmonis bersama warga asli Minang.
Bahkan, ada satu kabupaten di Sumbar yang penduduknya mayoritas bukan orang Minang dan juga bukan muslim.
Kabupaten dimaksud adalah Kepulauan Mentawai yang sekarang mulai berkembang karena menjadi destinasi wisata dan salah satu lokasi surfing terbaik di dunia.
Kembali ke soal slogan daerah, apakah dengan adanya persepsi yang kurang tepat tersebut, Tuah Sakato perlu di-rebranding?