Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Regenerasi Ahli Hisap Tetap Jalan Tanpa Peduli Cukai Rokok

8 November 2022   05:04 Diperbarui: 8 November 2022   05:23 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. Shutterstock, dimuat Kompas.com

Cukai rokok telah resmi dinaikkan pemerintah. Kenaikan tersebut rata-rata 10 persen yang berlaku mulai 2023 dan 10 persen lagi untuk 2024.

Padahal, pada awal tahun 2022 pun pemerintah sudah menaikkan tarif cukai hasil tembakau dengan rata-rata kenaikan 12 persen. 

Tentu, bagi para perokok harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam agar aktivitasnya sebagai "ahli hisap" tidak terganggu.

Kenaikan cukai rokok merupakan kompromi antara kepentingan dari sisi kesehatan agar masyarakat menjauhi rokok dan kepentingan menaikkan penerimaan negara dari cukai.

Jika masyarakat mengurangi konsumsi rokok karena harganya jadi naik, maka bisa diklaim sebagai keberhasilan bidang kesehatan.

Tapi, bila penjualan rokok tetap normal, tak terpengaruh kenaikan harga, maka penerimaan negara juga bisa dianggap berhasil ditingkatkan.

Artinya, apapun dampaknya, bagi pemerintah secara keseluruhan mungkin tak begitu masalah. 

Namun, jika dilihat secara terpisah dari tugas Kementerian Kesehatan dan juga Kementerian Keuangan, tentu masing-masing puya target tersendiri.

Memang, sebaiknya ada perhitungan lebih akurat tentang biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah, bila semakin banyak warga yang sakit karena pengaruh rokok.

Warga yang sakit tersebut bisa perokok aktif dan bisa pula perokok pasif (mereka yang terpapar asap rokok dari orang lain).

Lalu, biaya di atas dibandingkan dengan berapa besar pendapatan negara yang diterima dari berbagai sumber yang berkaitan dengan industri rokok.

Selain penerimaan cukai, pemerintah juga menerima pajak penghasilan dari perusahaan rokok. 

Juga ada pajak penghasilan pribadi dari semua pekerja di pabrik rokok yang bergaji di atas batas penghasilan tahunan yang terkena pajak.

Bukan hanya soal pajak dan cukai, tapi perputaran uang dari industri rokok, harus diakui, sangat besar.

Sepertinya, pemerintah akan gamang bila industri rokok betul-betul dimatikan atau dilarang secara total.

Konon, Kota Kediri di Jawa Timur bisa mati suri jika Pabrik Rokok Gudang Garam ditutup. Ini menggambarkan betapa tergantungnya Kediri dari Gudang Garam.

Artinya, para pekerja yang menggantungkan hidupnya dari pabrik rokok, jumlahnya sangat besar.

Belum lagi jika dihitung para pedagang yang berharap dagangannya dibeli oleh para pekerja pabrik rokok.

Contoh lain, masyarakat Kabupaten Temanggung di Jawa Tengah bisa berduka jika panen tembakau gagal.

Jadi, agaknya pemerintah setengah hati dalam "menghabisi" para perokok. Peringatan yang dicantumkan pada bungkus rokok, tak membuat takut konsumennya.

Pemerintah tentu mempertimbangkan, bahwa ada jutaan orang bergantung dari industri rokok, dari paling hulu hingga paling hilir.

Yang paling hulu ya petani tembakau atau cengkeh, termasuk industri pupuk dan penyedia alat-alat pertanian.

Sedangkan yang paling hilir, adalah para pedagang rokok eceran, pedagang asongan, warung-warung di pinggir jalan, dan sebagainya.

Mengharapkan kenaikan cukai untuk mengurangi jumlah perokok, sepertinya agak sulit, karena begitu gampangnya rokok diperoleh.

Apalagi, regenarasi perokok dengan banyaknya perokok di kalangan anak-anak dan remaja, diduga jauh lebih banyak ketimbang orang tua yang berhenti merokok.

Citra yang dibangun dari promosi rokok bahwa seorang lelaki yang betul-betul "jantan" haruslah perokok, berpengaruh pada larisnya rokok yang dikonsumsi remaja lelaki.

Bahkan, remaja putri pun tak sedikit pula yang ketularan, ikut-ikutan merokok, sebagai simbol anak gaul.

Idealnya, tidak ada tempat buat perokok. Tapi, sekarang baru pada tahap memisahkan perokok dengan bukan perokok di restoran dan ruang tunggu bandara.

Sedangkan di ruang publik lainnya, seperti di jalur pejalan kaki, di taman kota, warga masih bebas merokok.

Beruntung penumpang bus atau kereta api, karena rata-rata pakai pendingin udara, sudah bebas dari asap rokok.

Mungkinkah pemerintah tidak lagi hitung-hitungan dengan membandingkan penerimaan negara versus biaya kesehatan?

Bukankah perbandingan tersebut tidak begitu relevan? Memutus mata rantai regenerasi ahli isap sebaiknya menjadi tujuan utama.

Soalnya, untuk kesehatan tidak bisa main-main, tak bisa kalah dengan kepentingan pemasukan negara.

Namun, melihat jutaan tenaga kerja yang terancam PHK bila tak ada perokok, jadi dilema besar, mereka mau dipekerjakan di mana?

Haruskah bertanya kepada rumput yang bergoyang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun