Sedangkan yang paling hilir, adalah para pedagang rokok eceran, pedagang asongan, warung-warung di pinggir jalan, dan sebagainya.
Mengharapkan kenaikan cukai untuk mengurangi jumlah perokok, sepertinya agak sulit, karena begitu gampangnya rokok diperoleh.
Apalagi, regenarasi perokok dengan banyaknya perokok di kalangan anak-anak dan remaja, diduga jauh lebih banyak ketimbang orang tua yang berhenti merokok.
Citra yang dibangun dari promosi rokok bahwa seorang lelaki yang betul-betul "jantan" haruslah perokok, berpengaruh pada larisnya rokok yang dikonsumsi remaja lelaki.
Bahkan, remaja putri pun tak sedikit pula yang ketularan, ikut-ikutan merokok, sebagai simbol anak gaul.
Idealnya, tidak ada tempat buat perokok. Tapi, sekarang baru pada tahap memisahkan perokok dengan bukan perokok di restoran dan ruang tunggu bandara.
Sedangkan di ruang publik lainnya, seperti di jalur pejalan kaki, di taman kota, warga masih bebas merokok.
Beruntung penumpang bus atau kereta api, karena rata-rata pakai pendingin udara, sudah bebas dari asap rokok.
Mungkinkah pemerintah tidak lagi hitung-hitungan dengan membandingkan penerimaan negara versus biaya kesehatan?
Bukankah perbandingan tersebut tidak begitu relevan? Memutus mata rantai regenerasi ahli isap sebaiknya menjadi tujuan utama.
Soalnya, untuk kesehatan tidak bisa main-main, tak bisa kalah dengan kepentingan pemasukan negara.