Manajemen kerumunan? Ini istilah yang jarang terdengar, padahal sangat penting untuk dikelola dengan baik pada saat berlangsung suatu acara yang dihadiri oleh orang yang sangat banyak.
Tentu saja yang wajib mengelola adalah panitia dari suatu event yang berpotensi dihadiri orang banyak.
Bagaimana arus masuk dan arus keluar pengunjung, bagaimana agar tidak terjadi kerusuhan atau kecelakaan, sudah harus jelas prosedurnya.
Tapi, secara pribadi, bila kita sebagai salah seorang yang ikut dalam keramaian, perlu mengantisipasi terjadinya musibah dan melakukan langkah penyelematan diri sendiri.
Sebagai catatan, dalam lima minggu terakhir ini, paling tidak telah terjadi 3 peristiwa besar di dunia, akibat tumpukan massa yang tak terkendali.
Pertama, tragedi Kanjuruhan sehabis pertandingan sepak bola Arema FC versus Persebaya, yang memakan 135 orang korban tewas.
Kedua, tragedi Itaewon di Korea Selatan pada perayaan Halloween di sebuah jalan yang sempit. Jumlah korban tewas tercatat 154 orang.
Ketiga, tragedi jembatan gantung putus di India saat massa merayakan sebuah acara pesta budaya. Tragedi ini menewaskan 141 orang pengunjung.Â
Terkhir, baru-baru ini di Jakarta pihak kepolisian terpaksa menghentikan konser musik dangdut, karena penonton melebihi kapasitas venue, dan sudah ada penonton yang pingsan.
Jadi, penting disadari, ketika jumlah orang banyak tidak sebanding dengan daya tampung tempat acara berkumpul, ada bahaya besar mengintai, dan bukan tidak mungkin akan menelan korban jiwa.
Idealnya, masih ada sedikit jarak antar penonton, pengunjung, atau siapa pun yang berada dalam sebuah kerumunan.Â
Bila semuanya sudah berdesak-desakan, bahkan sudah saling dorong, saling sikut, ini bisa menuai risiko fatal.
Ada beberapa tips yang bisa diterapkan agar kita selamat sewaktu mengikuti acara yang diikuti oleh orang banyak.
Pertama, jika kita masih diluar arena dan akan masuk, coba amati dulu suasananya. Penting sekali untuk tidak memaksakan diri.Â
Kalau kita sudah tahu di dalam arena pengunjungnya sangat membludak, jangan memaksa tetap masuk.Â
Biarlah rugi harga tiket, ketimbang nyawa melayang atau masuk rumah sakit karena luka-luka akibat berdesakan.
Kedua, jika sudah terlanjur masuk dan tidak menduga pengunjung seperti air bah, lebih baik menjauh, ke tempat yang agak sepi.Â
Biasanya, di tempat paling belakang atau di tempat yang tidak strategis, ada celah kosong.Â
Bahkan, jangan merasa rugi jika memilih keluar duluan saat acara masih berlangsung atau belum memasuki puncak acara.
Ketiga, ketika mau keluar arena karena acara atau pertandingan akan segera berakhir, biasanya semua orang serentak ingin duluan pulang.
Dalam kondisi seperti, kita harus mengambil keputusan secara cermat, jika megetahui pintu keluar yang ada relatif sempit.Â
Bila belum terlalu berdesakan karena acara belum benar-benar selesai, kita cepat-cepat keluar.
Tapi, jika sudah mulai berdesakan, jangan memaksa keluar cepat. Biarlah rugi waktu terlambat pulang ke rumah, dari pada jadi korban yang terinjak-injak.
Keempat, jika sudah terlanjur berada dalam gelombang massa, ini memang kondisi yang sangat rumit.Â
Dalam kondisi begini, upayakan semaksimal tetap mempertahankan kesadaran dan ikut arus saja (melawan arus sangat berbahaya), serta selalu berusaha menjaga keseimbangan tubuh agar tidak terjatuh.
Akan lebih baik bila tetap ada sedikit ruang di depan dada, agar bisa benafas dengan baik.
Kelima, saat berkerumun, sebisa mungkin menghindari berada dekat dinding tembok, dekat pagar, atau dekat penghalang lainnya.
Soalnya, bila tubuh kita terbentur ke tembok di tengah desakan banyak orang lain, risikonya terlalu besar.
Demikian saja beberapa tips yang perlu diperhatikan agar kita bisa selamat ketika berada dalam kerumunan.
Namun, bila kita membaca kembali berita tentang Tragedi Kanjuruhan, peristiwa ini memang sangat pelik kondisinya.
Bayangkan bila kita berada di Stadion Kanjuruhan saat kerusuhan berlangsung. Bukankah ibarat maju kena mundur kena?
Kalaupun kita tidak memaksakan diri untuk berdesak-desakan keluar stadion, bertahan di dalam stadion pun tetap ada risiko terkena gas air mata.
Atau, mungkin kalau kita bergerak ke bagian paling atas dari tribun penonton dengan wajah membelakangi lapangan, akan lebih kecil risikonya.
Jika masih tetap terkena gas air mata, yang terkena adalah bagian punggung, bukan wajah yang bisa membuat mata perih dan merah.
Kata pepatah "mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak". Tapi, dengan kecermatan mengantisipasinya, kita berkesempatan untuk tetap selamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H