Saya punya beberapa tetangga yang masing-masing rumahnya berpagar tinggi. Jika saya lewat di depan rumahnya, saya tidak bisa melongok ke halaman rumah.
Semua tetangga saya adalah perantau, dalam arti bukan orang Betawi yang saya anggap sebagai penduduk asli Jakarta.
Kenapa saya tahu mereka pendatang, padahal kami bertetangga tidak saling kenal dekat? Itu karena saya nyinyir bertanya kepada Ketua RT yang pasti setiap bulan mendatangi rumah semua warganya.
Pak RT terlihat senang jika ke rumah saya, karena saya cepat membuka pintu pagar.Â
Tapi, kalau Pak RT mengetok pintu beberapa tetangga saya, biasanya lama sekali dibuka oleh tuan rumah.
Itupun yang membuka bukan pemilik rumah, tapi asisten rumah tangganya yang sekadar membuka pintu pagar sedikit saja, sambil memberikan uang iuran kemanan.
Satu lagi yang jadi sumber informasi saya bila saya ingin tahu tentang tetangga adalah Pak Adi, tukang warung di depan taman dekat rumah saya.
Saya tidak tahu dari mana Pak Adi tahu tentang tetangga saya, karena si pemilik rumah jarang belanja di warungnya.Â
Mungkin dari asisten rumah tangga si tetangga saya yang memang kadang-kadang berbelanja atau bermain di taman dekat warung.
Sebetulnya, saya relatif sering salat berjamaah di masjid dekat rumah. Sayangnya, hal ini tak bisa jadi sarana untuk memupuk silaturahmi antar tetangga.
Soalnya, jarang sekali tetangga saya yang ikut salat berjamaah. Kalau pun sesekali ada tetangga, setelah salat ia langsung pulang tanpa ingin ngobrol dengan jamaah lain.