Namun, anak saya yang nomor 2 dan 3 tidak punya tetangga yang punya anak sebaya anak-anak saya.
Lagi pula, lingkungan di saat balita anak sulung saya berbeda dengan saat adik-adiknya balita.
Hal itu karena saya memang beberapa kali pindah tempat tinggal dengan lingkungan yang juga berbeda.
Nah, karena itulah, paling tidak saya punya 3 versi bertetangga yang saya saksikan dan alami langsung di Jakarta.
Pertama, sebelum menikah, tapi saya sudah bekerja di Jakarta, saya tinggal bersama Pak Etek (adik ayah) saya di kawasan Kebon Baru, Jakarta Selatan.
Kawasan tersebut sangat padat penduduk yang jalanannya banyak berupa gang yang hanya bisa dilewati motor.
Adapun yang namanya jalan utama, hanya berupa jalan yang sempit, meskipun bisa dilewati mobil.Â
Saat itu masih banyak becak yang bersliweran, sehingga suasana di jalan semakin padat.
Jujur, suasananya memang kurang nyaman, tapi justru kehidupan bertetangga masih terasa denyutnya, terutama antar warga beretnis Betawi yang masih banyak di sana.
Suasana guyub masih terasa. Bahkan tukang sayur, tukang minyak, pedagang pikulan, tukang kredit panci, sangat mengenal warga di gang-gang yang dilewatinya.
Pedagang dan pelanggan saling bercanda, ibu-ibu ngegosip sambil cari kutu, anak-anak main bola plastik di gang sempit, dan berbagai aktivitas lainnya yang dilakukan secara bersama-sama.